Tak ada jalan lain!

14 5 2
                                    

Hawa dingin semakin menusuk dengan naungan cakrawala yang perlahan mulai menggelapkan bumi seluruh penduduk Aspentys pun sudah tak menampakkan diri dengan nyaman berlindung dalam hunian mereka yang hangat dengan kayu bakar yang membara dalam perapian, hanya beberapa yang masih berseliweran dengan keperluan paling mendesak tetap terjaga dan mencoba melawan rasa dingin.


Satu diantaranya adalah seorang pria penunggang kuda hitam dengan tubuh tegap berisi dan rambut sehitam arang serta dipadu helaian rambut berwarna biru gelap yang hampir tampak menyatu dengan rambut hitamnya yang cukup tipis, ia tampak tangguh dengan goresan luka yang membentang dari tengah hidung sampai pipi kirinya tampak jelas di atas kulitnya yang berwarna putih.


Dengan cuaca yang menusuk itu bukannya memacu kuda yang ia tunggangi secepat mungkin, ia justru bergerak dengan amat lambat sehingga jika dilihat dari kejauhan ia tampak seperti sedang menunggang seekor keledai.


Dengan tangan kanan yang disembunyikan di dalam mantel dan tangan kiri yang menggenggam erat tali kuda hitam itu ia tetap terlihat gagah.


Dari matanya jelas sekali kalau ia memiliki tujuan, bulu matanya membeku ada sedikit es yang hinggap di sana akan tetapi matanya tajam menatap jalur yang ia lewati meskipun ia terlihat seakan-akan pikirannya sedang tak bersama tubuh itu entah apa dan ke mana perginya.


Tak lama kemudian dengan sadar pria tersebut menarik lembut tali yang menggantung pada moncong kuda tersebut agar berhenti melangkahkan kaki, dan perlahan kuda hitam berekor panjang itu berhenti tepat di depan sebuah rumah kayu dengan asap yang membumbung di cerobong asap.


"Ayaaaah...!"


Pekik seorang anak lelaki yang berlari menghampiri si penunggang kuda.


Pria yang dipanggil ayah itu pun menarik kain yang menutupi leher, mulut dan sebagian hidungnya senyumnya tampak hangat dan bersahabat.


"Apa yang kamu lakukan? kenapa di luar? sudah semakin dingin lho"


Tangannya kirinya meraba puncak kepala sang putra, sementara tangan lainnya masih tersembunyi di balik mantel bulu yang tebal.


"Pochi!!"


Ia mengulurkan kedua tangannya dengan semangat menunjuk ke arah pintu rumah mereka ada boneka salju ber-syal merah di sana, senyumnya melebar


"Ayah, ibu dimana?"



Mata yang semula berbinar itu seakan ditelan gelapnya malam bahkan senyumnya perlahan mengendur tangannya yang terjulur sigap meraih jemari kecil sang putra.


"Aska, ayah boleh minta tolong?"


Anak itu mengangguk dengan polosnya menarik tangan sang ayah dan menuntunnya ke dalam rumah, rumah itu hangat perapian nya berkobar melahap kayu-kayu kering yang diberikan menciptakan hawa panas di seluruh ruangan.


"Bibi Muirrel baru saja kemari tadi waktu ayah belum datang, Paman juga bawain banyak sekali kayu bakar kering dari belakang tapi katanya Aska nggak boleh dekat-dekat"


Tangannya menunjuk liar antara perapian dan beberapa tumpuk kayu yang tak jauh dari sana.


"Bibi sedang buat sup untuk Aska jadi Aska diminta tunggu sebentar. Paman Ed juga dipanggil paman Faeq, Bibi marah-marah terus yah karena Aska nggak mau datang ke rumah bibi katanya hihi"


Mendengar hal tersebut pria itu tersenyum sembari memperhatikan putra kecilnya yang berlari-lari kecil ke arah perapian dan kembali lagi ke hadapannya.


Snow God : Avaland dan Yang Terpilih Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang