Riby menekan angka pin Atm nya, ia berencana mentransfer saja hutangnya kepada Tante Vina. Tidak ingin memberikan secara langsung, takut Tantenya itu akan berbuat jahat lagi padanya. Cukup sekali ini saja ia berurusan dengan Tante Vina dan berjanji tidak akan pernah mau lagi.
Ia hela napasnya setelah urusannya selesai, rasanya sungguh melegakan setelah bisa melunasi hutang tidak masuk akalnya itu. Walaupun masih ada yang mengganjal di hatinya, ia masih berhutang dengan Langga. Walaupun lelaki itu mengatakan tidak akan mempermasalahkannya, tetap saja ia merasa tidak nyaman.
Riby berjalan dengan langkah yang terasa ringan. Semangatnya untuk bekerja semakin bertambah, ia harus punya banyak uang agar tidak sengsara lagi seperti ini dan juga bisa mengembalikan uang Langga. Apalagi adiknya sebentar lagi akan kuliah. Memikirkan tentang adiknya, ia jadi rindu dengan sosok tengil adiknya itu. Sepertinya nanti malam ia harus menelpon Arby.
Hari sudah sore ketika ia menyusuri jalan sempit menuju kontrakannya, tersenyum ramah menyapa beberapa Ibu rumah tangga yang masih betah duduk di depan rumah dekat kontrakannya.
Sampai di depan kontrakannya, ia heran melihat Clara yang duduk di teras dengan memegangi perutnya.
"Mbak, kok masih duduk di luar, udah sore loh." Tegurnya pelan, merasa kasihan dengan wanita yang tengah hamil itu. Clara hanya tersenyum pelan dengan wajah yang terlihat pucat.
"Mbak Clara kenapa?" Panik Riby, perut Clara memang sudah sangat besar, beberapa hari yang lalu ketika Riby bertanya, ia mengatakan sudah masuk kehamilan sembilan bulan.
"Jangan - jangan Mbak mau lahiran lagi?" Tebak Riby, ketika melihat Clara yang beberapa kali menghembuskan napas, sepertinya ia sedang mengalami kontraksi.
"Iya By, rencananya mau ke klinik, tapi nungguin Mas Rama dulu." Jawabnya sambil meringis menahan sakit. Riby yang melihat keadaan Clara merasa tidak tega, jiwa ingin menolongnya sudah berada di ujung tanduk, tetapi sekali lagi, ia ingat siapa suami wanita yang sedang merintih menahan sakit ini.
"Mbak, kalau saya bawa Mbak Clara ke klinik, mau nggak?" Riby bertanya sambil menatap wajah wanita yang kini semakin pucat itu, Riby sudah tidak tahan melihat Clara yang meringis kesakitan.
Gelengan kepala dari Clara, seolah menjawab kalau ia menolak tawaran Riby. "Nggak usah By, nunggu suami Mbak aja, palingan sebentar lagi pulang." Jawabnya dengan wajah yang dipaksakan untuk tersenyum.
Riby hampir saja protes, mengingat bagaimana pucatnya wajah Clara. Tapi ia bisa apa, dirinya masih ingin hidup normal tanpa amukan dari Suami Clara.
Riby menoleh ketika mendengar suara motor yang terdengar berisik di belakangnya, dan melihat lelaki bertampang sangar itu turun dari motor, berjalan dengan wajah angkuh ke arah istrinya.
"Masuk!!!" Serunya, tanpa peduli dengan istrinya yang kini kembali merintih.
"Mas, perut aku sakit sekali."
"AKU BILANG MASUK!!!" Riby terperanjat kaget, mendengar bentakan lelaki yang baru saja menginjakkan kaki ke teras kontrakan mereka.
"Kamu, kenapa masih di situ, mau ikut masuk ke rumah saya?" Tanyanya menatap Riby dengan tampang pongah. Riby yang baru saja ditanya, dengan cepat menggelengkan kepalanya. Tanpa berpamitan ia langsung membuka pintu Rumahnya dan masuk dengan wajah yang pucat pasi.
Astaga, menakutkan sekali lelaki itu.
***
"Arby tebak, pasti sekarang Kakak lagi makan telur kan?"
Gelak tawa Riby terdengar. "Kok tahu sih dek?"
"Taulah, kan menu andalan Kakak kalau nggak mie ya telur."
Riby meringis mendengar tebakan adiknya yang memang benar. Ia kembali mengunyah nasi putih plus telur ceplok, menu makan malamnya kali ini.
"Kak."
"Hmm?"
"Arby pulang ke Jakarta ya."
"Kenapa?"
Riby meneguk air putih dari gelas kaca, hadiah dari sabun colek yang ia beli. Ia sedikit terkejut mendengar perkataan adiknya.
"Kamu bakal kesulitan di sini dek, enakan di situ, bentar lagi kan kamu mau kuliah." Lanjut Riby, padahal ia juga bingung, darimana ia mendapatkan uang untuk biaya pendaftaran adiknya. Tapi sepertinya masih bisa diusahakan, karena sekarang ia sudah tidak punya hutang lagi, sebenarnya masih punya tapi si penghutang tidak segalak sang Tante.
Bicara tentang hutangnya. Satu jam yang lalu ia mengirimi bukti transfer pembayaran ke Whatsapp Tantenya. Tapi bukannya merasa senang, Tante Vina malah curiga dan bertanya dari mana ia mendapatkan uang secepat itu. Dan sampai sekarang, ia belum membalas lagi deretan pesan Tantenya yang kembali menuduhnya macam - macam.
"Kak!!!"
Riby tersentak kaget dari lamunannya, ketika mendengar suara Arby yang sedikit kencang, ia memang mengaktifkan loudspeaker ponsel bututnya.
"Adek, dengerin Kakak. Kamu lebih baik tinggal sama Paman dan Bibi, hidup kamu lebih terjamin di situ." Riby menghembuskan napas panjang sebelum kembali melanjutkan perkataannya. "Kamu pernah hidup di sini dan rasanya nggak enak kan, dek."
"Kata siapa?"
"Arby nggak pernah minta sama sekali, Kakak yang ngeyel minta Arby buat tinggal di sini!!!" Lanjutnya dengan penuh emosi.
Riby memejamkan matanya, air matanya sudah ingin jatuh mendengar suara bergetar adiknya.
"Kenapa Kak? Kenapa Arby nggak dibolehin buat dekat sama Kakak Arby sendiri?"
"Bukan gitu dek." Sanggah Riby, ia ingin kembali bersuara ketika mendengar suara adiknya yang seperti menahan tangis.
"Arby udah nggak bisa dekat sama Ayah dan Ibu...dan sekarang Arby juga nggak dibolehin dekat sama Kakak Arby sendiri."
"Dek!!!" Riby terhenyak mendengar perkataan adiknya.
"Arby nggak bahagia di sini kak, Arby nggak betah."
"Kakak minta kamu bertahan sebentar la...."
"SAMPAI KAPAN KAK?" Arby berteriak kencang, membuat Riby terkejut, adiknya tidak pernah seperti ini.
"Adek, nggak boleh gitu." Riby mencoba menenangkan adiknya, takut suara Arby akan terdengar oleh Paman atau Bibinya.
"Nggak bakalan Kak, Arby berani jamin."
Riby mengerutkan keningnya, seingatnya rumah sang Paman tidaklah terlalu besar dan ruang kamar pun tidak kedap suara. Walaupun ia tahu, adiknya tidur di kamar belakang dekat dengan dapur.
"Kamu di mana?" Tanya Riby dengan tubuh yang sudah ia tegakkan, ini sudah jam delapan malam. Adiknya tidak mungkin berkeliaran jam segini.
Hening cukup lama, yang membuat Riby menjadi panik. Jangan - jangan adiknya memang sedang keluar rumah.
"Arby di gudang belakang." Jawabnya setelah cukup lama terdiam.
Riby terkejut mendengar perkataan adiknya, ia tahu gudang belakang yang dimaksud Arby. Gudang tempat barang bekas yang tidak mau dibuang oleh Bibinya. Gudang itu sempit karena tumpukan barang tidak berguna ditambah jarang dibersihkan. Ruangannya kotor dan banyak sarang laba- laba, bahkan mungkin saja ada ular bersarang di sana.
"Kok bisa!!!" Serunya panik memikirkan nasib adiknya malam ini.
"Tadi.....Arby pamit keluar karena ada acara perpisahan sama teman - teman. Pulangnya telat lima belas menit dari waktu yang Paman kasih. Paman marah, katanya Arby bandel karena nggak tepat waktu. Padahalkan Arby telat karena rantai sepedanya putus. Tapi Paman nggak mau tahu, Makanya Arby di sini sekarang." Jelasnya panjang lebar. Terdengar dari suaranya, Riby tahu kalau adiknya itu sedang menahan emosi dan kecewa.
Helaan napas Riby terdengar menyakitkan, ingin marah tapi percuma. Iya tutup matanya sejenak, menetralkan rasa sakit atas perlakuan Pamannya.
"Dek, lusa Kakak jemput ya."
●●●●●●
KAMU SEDANG MEMBACA
Hai Riby (END)
RomanceRiby Arnatha, pernah menikah di saat usianya masih 18 tahun. Dan memilih bercerai di usia pernikahan yang baru berjalan empat bulan. Tujuh tahun berlalu, ia kembali bertemu dengan mantan suaminya, dengan status yang tidak terduga. Cover by Pinterest...