Oliver hanya mengecup bibirnya singkat lalu kembali menatap Clarissa yang masih terlalu terkejut untuk merespon. Ia tak bisa menganggap ini sebagai hal lumrah sebab ini bukan perihal lumrah sama sekali. Oliver tidak memiliki hati dan parahnya juga bukan pria yang disukainya.
"Kau membutuhkan ciuman lain untuk segera sadar?"
Bisikan lembut yang menusuk itu membuat Clarissa beringsut menjauhkan diri. Hanya itu respon yang dapat diberikannya sampai Oliver melilitkan tangan di pinggang ramping Clarissa dan membawanya kembali bersandar ke tepian meja dengan Oliver yang menghimpitnya.
Senyum penuh kemenangan yang tampil di bibir Oliver sanggup membungkam mulut Clarissa. Otaknya sudah berteriak memintanya untuk lari sejauh mungkin, untuk protes, untuk memberontak, tapi anggota tubuhnya sedang tidak ingin bekerja sama. Tubuh itu sebaliknya ingin bermanja di pelukan Oliver.
"Aku ingin mendengar suaramu," katanya tak lembut seperti sebelumnya tapi juga tak kejam seperti biasanya,
Pipi Clarissa terasa panas. "Kenapa?"
Oliver kembali menyeringai. "Aku hanya ingin tahu apa yang sedang terjadi di dalam otak mungilmu."
Clarissa merasa semakin panas di pipinya. Oliver sedang menggodanya dan jantungnya tidak bisa berhenti untuk tidak bereaksi berlebihan. Perasaan malu dan gembira itu menyatu hingga ia semakin bingung mengekspresikan diri.
"Kenapa anda mencium saya?" Akhirnya... akhirnya kalimat itu keluar walau sebenarnya Clarissa merasa sangat malu mengutarakannya.
Ia mendengar Oliver berdecak sebelum menjawab, "Kenapa tidak?"
Alis Clarissa beradu. "Tapi saya bawahan anda dan kita sedang di area kerja."
Senyum miring Oliver menggambarkan sejuta hal yang tidak Clarissa mengerti. Oliver menyentuh kepalanya kemudian mengelus rambutnya. Kali ini Clarissa merasa seperti anak kucing yang disayang. Ibu jari Oliver kini mengusap pelan pelipisnya lalu turun ke pipi hingga berhenti di bibir bawahnya.
"Aku bisa melakukan apapun yang kuinginkan."
Bibir Clarissa terbuka kecil dan matanya menatap langsung tatapan sensual Oliver. Pikirannya kosong. Oliver telah membawanya terlalu jauh hingga lupa diri.
"Seseorang mungkin akan melihat," ucapnya asal. Itu satu-satunya kalimat yang muncul di benaknya.
"Alasanmu sangat tidak kuat."
"Saya mungkin keberatan."
Kedua alis Oliver terangkat. "Mulut manismu berani mengatakan itu saat tubuhmu berteriak menginginkannya."
Clarissa menggeleng lemah. "Anda mungkin sedang mabuk, Pak," katanya sambil memalingkan wajah.
Oliver menggeram atas gerakan itu. "Kau pikir otakku sedungu itu?" Dia menangkup wajah Clarissa lalu mengembalikannya pada posisi semula.
"Anda mungkin sedang mempermainkan saya tapi saya mohon hentikan."
Dia tertawa. "Aku yakin ukuran otakmu memang kecil."
Tanpa basa-basi tangan Oliver melingkar lagi di pinggangnya kemudian mengangkatnya hingga duduk di atas meja. Clarissa hampir memekik ketika pria di depannya mendekatinya sampai jarak wajah mereka sangat tipis. Hembusan napas mint itu kembali menerpa wajah Clarissa, membawanya pada kebahagiaan yang tidak pernah dirinya kira sebelumnya.
"Kau belum pernah memiliki kekasih sebelumnya?" Tanya Oliver dengan suara rendah hampir terdengar seperti sebuah bisikan.
"Uh..." Clarissa belum sempat menjawab ketika bibir hangat itu kembali menyatu dengan bibirnya.
Ciuman ini sangat berbeda dari sebelumnya. Oliver menekan bibir bawahnya membuat debaran jantung Clarissa semakin tidak terkontrol. Awalnya ia tidak ingin merespon tapi semuanya tiba tiba mengalir begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Untouchable Boss (SUDAH TERBIT)
RomanceWarning 18+ Bekerja sebagai sekretaris selama 4 tahun membuat Clarissa menjadi salah satu orang yang paling mengerti karakter Oliver, si pria dingin dan kaku yang tidak senang berbasa-basi. Kebenciannya bersentuhan dengan wanita menyebabkan Clarissa...