Clarissa memberi senyum penuh perhatian yang membuat genggaman tangan Oliver semakin erat padanya. Ia ingin mengucapkan dukungan lain untuk menguatkan tetapi lift berbunyi pertanda mereka tiba di lantai dasar.
Oliver yang seakan baru sadar apa yang sedang dilakukannya langsung melepaskan tangannya dan berjalan cepat keluar. Clarissa hanya bisa menarik napas panjang. Lagi lagi pria ini tidak mengucapkan terimakasih atas bantuannya.
Akhirnya Clarissa mengikuti Oliver dari belakang. Bahkan setelah mereka berada dalam satu mobilpun, Oliver tidak berbicara padanya seolah tidak ada yang terjadi sebelumnya. Sebenarnya ia juga tak mengatakan bahwa sesuatu terjadi diantara mereka. Maksudnya adalah dirinya telah membantu semaksimal mungkin dan lihatlah pria ini bersikap arogan dengan kembali bekerja di kursi belakang.
Clarissa menggembungkan pipinya. Ia menjadi semakin kaku berbicara dengan bosnya setelah apa yang terjadi. Ia merutuki diri sendiri karena dengan polosnya terbuai. Seharusnya ia mendorong atau memaki, hitung hitung sebagai balas dendam atas perilaku menyebalkan pria ini kepadanya sejak dulu.
Sekembalinya ke kantor, Oliver langsung masuk ke ruangannya sementara Clarissa langsung pergi menuju pantry. Kebiasaan pria itu yang harus meneguk kopi susu tiga kali sehari mengharuskan Clarissa aktif memastikan minumannya tersedia. Ia menghembuskan napas panjang.
"Dari hembusan napas panjang itu aku tahu Pak Oliver melakukan sesuatu lagi hari ini." Suara Nica yang terdengar sedikit geli memasuki pendengarannya.
"Siapa lagi yang mampu meruntuhkan semangatku kalau bukan dia."
Nica tertawa. "Apa lagi yang dilakukannya pada sahabatku yang cantik ini?" Dia mencubit pipinya.
Clarissa menghembuskan napas panjang. "Dia memotong gajiku lagi."
"What?" Bukannya iba, Nica malah semakin tertawa.
"Apa yang kau tertawakan? Seharusnya kau prihatin. Sahabatmu ini hampir tidak akan menerima gaji sepersepun."
"Uluh... uluh. Baiklah. Katakan dosa apa lagi yang kau lakukan hari ini?"
"Kenapa kau berpikir aku yang berbuat dosa hari ini?" ungkapnya tak merasa bersalah sedikitpun.
"Aku tahu bagaimana dirimu dan bagaimana Pak Oliver. Kau tidak akan pernah jera, hm?" Nica menarik telinganya.
"Aw! Baiklah. Aku hanya terlambat sedikit."
"Sedikit?" Nica mengangkat kedua alisnya.
Clarissa memutar bola matanya. "Baiklah. Sekitar 20 menit."
"Sudah kuduga."
"Tapi ini karena mobilku mogok," ucap Clarissa membela dirinya.
"Kau mengatakan itu?"
Ia menggaruk kepala sembari menyengir. "Tidak... tapi aku punya alasan khusus hingga tidak mengatakan kebenarannya."
"Dan apa alasanmu, Nona manis?"
"Aku tidak ingin dia tahu mobilku kembali rusak. Lebih dari 3 kali mobilku mengalami kerusakan bulan ini. Kantongku menipis dan dia terus memotong gajiku walau aku mengatakan kebenaran atau tidak. Awalnya aku berkata jujur dan dia mengatakan aku yang tidak disiplin, berangkat kerja terlalu terlambat, dan tidak berakal karena tak menggunakan kendaraan umum demi menyelamatkan gajiku. Terakhir kali dia memintaku segera mengganti mobil. Dia pikir semudah itu? Aku juga punya biaya hidup harian untuk ditanggung." Clarissa menghembuskan napas penuh keluhan lalu mengacak rambutnya sendiri. "Aku hampir gila."
"Kurasa Pak Oliver juga ada benarnya."
Sontak Clarissa menoleh sahabatnya dengan mata menyipit. "Kau sebenarnya sahabatku atau sahabatnya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
My Untouchable Boss (SUDAH TERBIT)
RomanceWarning 18+ Bekerja sebagai sekretaris selama 4 tahun membuat Clarissa menjadi salah satu orang yang paling mengerti karakter Oliver, si pria dingin dan kaku yang tidak senang berbasa-basi. Kebenciannya bersentuhan dengan wanita menyebabkan Clarissa...