Bab 6

20K 722 8
                                    

Suatu hari kau akan bahagia dan melupakan kejadian memalukan ini.

Clarissa mengucapkan mantra itu berulang kali di benaknya demi membela diri. Walau masih belum puas menumpahkan emosi dan rasa sedih, ia harus tetap stand by di kursinya sebelum si iblis Oliver kembali dan menemukannya tidak ada di tempat.

Pria ini sangat sulit ditebak. Clarissa tidak mengetahui apakah Oliver dingin atau panas dalam satu waktu. Ia kembali merutuki diri karena berpikir pria seperti dia akan jatuh hati. Es batu tetaplah es batu. Tidak ada yang bisa mencairkannya selama dia tetap berada di zona freezer kulkas.

Sekembalinya ke meja kerja, Clarissa menyibukkan diri dengan berbagai-bagai pekerjaan. Tak lebih dari 30 menit kemudian, Oliver muncul dengan ekspresi yang masih tak terbaca. Clarissa hanya bisa berusaha fokus dan professional walau sebenarnya tak sanggup bersikap formal, ramah ataupun sopan. Clarissa hanya berdiri di tempat menyambut kedatangan atasannya itu sembari menunggu instruksi apa lagi yang akan diperintahkannya. Gajinya mungkin sedang dipertaruhkan.

“Masuk ke ruanganku,” kata Oliver dengan nada lantang dan cukup tegas.

“Baik, Pak,” jawab Clarissa dengan tangan bertautan semakin erat. Ia menutup mata lalu menghembuskan napas mempersiapkan diri.

Berada selama 4 tahun di bawah naungan Oliver tidak membantunya untuk lebih tenang berhadapan dengannya. Belum lagi berkaitan dengan apa yang mereka lakukan baru-baru ini, ditambah kebodohannya sepanjang hari. Clarissa merutuki kepolosannya. Seharusnya ia tak pernah mendengar saran Selvy.

Clarissa mengetuk dua kali sebelum melangkah masuk. Ini terasa seperti menyerahkan diri pada mafia dengan perasaan yang dibaluti kecewa, malu juga sedih. Ia tak seharusnya terbuai. Sejak awal ini memang kesalahannya karena tergoda pada bajingan ini.

Clarissa berdiri tepat di depan meja Oliver dengan penuh kegelisahan. Bagaimanapun dirinya harus professional sebagai bawahan. Clarissa siap jika gajnya dipotong, tapi satu hal yang ia janjikan pada diri sendiri, yaitu TAK akan pernah menyerah pada Oliver lagi.

“Kau tahu kesalahanmu?” Suara itu terdengar kesal.

Clarissa mengangguk. “Tahu, Pak.”

“Hari ini kau terlalu jauh dari pikiranmu, tidak fokus dan tidak professional.”

Ia menunduk sedikit. “Saya minta maaf, Pak.”

“Kata itu terlalu sering kudengar. Angkat kepalamu.”

Perintah itu otomatis membuat Clarissa mengangkat kepalanya. Satu sisi ia takut pada Oliver tapi di sisi lain kebencian semakin merayapinya. Pria ini tidak punya belas kasihan hingga sanggup mempermalukannya begitu saja.

Clarissa tak ingin disudutkan walau ini murni kesalahannya. Awalnya ia hanya berharap kemurahan hati Oliver untuk membuatnya tampak tidak bersalah di meeting. Namun kesalahan besarnya berharap pada pria dingin seperti dia.

“Saya siap menerima konsekuensinya, Pak,” ucap Clarissa pasrah.

“Apa konsekuensi yang kau pikirkan?” Oliver mengangkat kedua alisnya menantang dengan angkuh. “Memotong gaji?”

Kalimat itu terasa seperti meledeknya sebab sebelumnya Clarissa mengatakan Oliver hanya berkuasa atas gajinya. Semakin Clarissa mendengar, semakin besar kekesalan merasukinya. What the hell! Pria ini benar-benar menjengkelkan. Dia memang berkuasa atas gaji, lalu apa lagi hukuman yang dia inginkan?

“Saya siap menerima surat peringatan, Pak,” jawabnya pasrah.

Oliver mengangguk. “Kau yakin siap menerimanya?”

Clarissa menarik napas panjang. Pasrah walau hatinya bergejolak. “Saya siap, Pak.”

“SP3?”

Matanya langsung membelalak. Clarissa tidak percaya mendengar kalimat itu dari mulut Oliver. Dia terlihat begitu santai saat mengatakan peringatan itu padanya. Apa apaan! Ini hanya kesalahan kecil. Ini tidak benar. Tidak adil. Clarissa tak bisa terima.

My Untouchable Boss (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang