"Hinaㅡ putriku.."
Haechan tersenyum ketika melihat Ibunya memeluk Hina dengan erat, Hina tampak tersenyum haru, ia sangat mengerti jika Hina pasti sangat merindukan Ibuㅡ begitu pula sebaliknya, mereka sudah empat tahun tidak saling bertatap muka, bagaimana bisa tidak saling merindukan?
"Bagaimana kabar Ibu?" Hina melepaskan pelukkannya, Ibu mengangguk kecil, mengusap pipi tirus Hina.
"Seperti yang kau lihat"
"Dimana Ayah?"
"Masih diluar kota, tapi dia menitipkan salam untukmu" Ibunya tersenyum kecil, mengusap lengan Hina yang kulitnya terasa halus ditangan tuanya. Ia tahu Hina kecewa karena Ayahnya tidak ikut menyambutnya, tapi bagaimana lagi? Pekerjaannya menuntut untuk diselesaikan "Tidak apa, Ayah pasti pulang" Ibu berusaha menenangkan Hina.
Gadis itu mengangguk kecil, ia bisa memaklumi kesibukkan Ayahnya.
"Ibu- Nenek sudah tiadaㅡ apa kita akan pulang ke Beijing suatu saat nanti?" Hina bertanya pelan, sang Ibu tersenyum kecil.
"Kami berniat menjual rumah di Beijing, disana sudah tidak ada kerabat lagi selain Nenekmu"
Mata Hina membulat kecil, ia sempat tidak fokus sejenak. Membayangkan bagaimana jika mereka tidak akan pernah kembali ke Beijing.
'Aku tidak bisa bertemu denganmu lagi'
"Hina? Kau tidak apa? Sebaiknya kau istitahat" ucap Ibu sambil mengusap rambut panjang Hina, gadis itu tersentak sebelum mengangguk pelan "Haechan akan mengantarmu kekamar" lanjutnya.
Ia melirik Haechan yang masih berdiri disanaㅡ menatapnya. Hina tersenyum sebelum berjalan menghampiri Haechan.
>>>
"Sama sekali tidak berubah"
Hina memandang keadaan kamarnya yang sama sekali tidak berubah, tetap sama seperti empat tahun lalu. Walau tidak ditempati, setiap hari Ibu selalu membersihkan kamar Hina. Bahkan sesekali Ibu selalu mengganti sprei ranjangnya walau ia tahu ranjang itu sama sekali tidak digunakan.
"Ibu selalu membersihkannya" Haechan menyeret koper Hina dan meletakkannya didekat lemari.
"Ibu memang yang terbaik!" Hina tersenyum hingga matanya menyipit, namun Haechan tahuㅡ ada hal lain yang mengganggu pikiran saudaranya itu.
"Kau ada masalah?"
"Tidak ada"
"Kau tahu, kau bisa bercerita apapun padaku. Kuharap kau tidak lupa jika aku adalah Kakakmu"
Hina meringis, ia berjalan menghampiri Haechan dan memeluknya dengan erat.
"Kau selalu aku ingat, dihati dan pikiranku setelah Ibu"
Haechan tertawa pelan. Menepuk kecil punggung Hina.
"Kau melupakan Ayah?"
"Ahㅡ maksudku, setelah Ayah dan Ibu" Hina tersenyum lebar sambil melepaskan pelukkannya, membuat Haechan mendengus kecil.
"Kau mau membereskan barangmu sekarang atau nanti?"
"Sekarang? Tapi aku lelah"
"Kau tidak berniat menyuruhku untuk membereskan semua barangmu, kan?"
"Oh, Haechanㅡ tentu saja tidak" Hina terkikik. Ia berjalan kearah ranjangnya dan duduk disana. Hina mengambil tas kecil miliknya, mengeluarkan sesuatu dari sanaㅡ sebuah foto.
'Maafkan akuㅡ kuharap kau menemukan yang lebih baik'
Hina tersenyum sendu, mengusap foto ditangannya dengan pelan. Haechan masih menatapnyaㅡ ia tidak berniat bertanya, ia tahu Hina butuh waktu. Ia hanya akan menanggapi jika gadis itu mulai bercerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗣𝗹𝗮𝗶𝗲𝘀 [MarkHyuck]
أدب الهواة[MARKHYUCK] ⚠️ FULL CERITA ADA DI TRAKTEER, CEK BIO BUAT INFO. Apa yang lebih menyakitkan ketika sosok yang kau cintai ternyata menyukai Saudaramu sendiri? MarkHyuck with Hina.