Bagian 8

223 19 0
                                    

Sebuah gedung berlantai tiga, dengan cat putih yang membalutinya, juga jendela kaca yang terlihat rapi tersusun. Gedung tersebut ditutupi pagar yang cukup tinggi, dijaga oleh dua orang satpam yang siap siaga di posnya. Edris menatap gedung tersebut dengan keheranan, selama ini ia mengira gedung tersebut adalah rumah sakit, atau mungkin juga puskesmas, ia sama sekali tidak menyangka bahwa gedung tersebut adalah sekolah.

Laki-laki itu melirik ke arah Rika yang berdiri tepat di sampingnya, mereka saling pandang. Rika menggerakkan mata, menunjuk gedung tersebut.

"Ini sekolahnya?" tanya Edris memastikan.

Rika mengangguk pelan. Edris kembali menoleh pada gedung tersebut. Di puncak gedung tertulis Yayasan Mudia Tama. Edris kemudian melirik ke bagian depang gedung, hal yang selama ini belum pernah ia lihat dari gedung berpagar tinggi itu. Terlihat jelas disana tulisan 'Sekolah Menengah Pertama Media Tama' yang tercetak rapi dengan warna hijau.

"Sepertinya aku tidak bisa masuk ke dalam, jadi kita tunggu saja sampai adikmu pulang," ucap Edris setelah menilai keadaan.

Rika menggeleng pelan, itu bukanlah ide yang bagus.

"Adikku dijemput ibu tepat di depan pintu utama itu," jelas Rika seraya menunjuk pintu kaca di belakang tulisan berwarna hijau tersebut. "Kamu tidak akan bisa bertemu dengannya jika menunggu jam pulang."

"Tapi aku juga tidak bisa masuk ke dalam, kamu tidak lihat ada dua satpam di gerbang itu?"

"Kamu harus cari cara untuk bisa masuk ke dalam, kalau tidak, mau tak mau kamu harus bertemu langsung dengan kedua orang tuaku." Rika berbicara dengan nada lebih menekan.

Edris sejenak berpikir, mencari ide untuk masuk ke dalam sekolah tersebut. Sementara Rika di sebelahnya menunggu jawaban. Pertama yang harus dilakukan Edris adalah memastikan Rika benar-benar anak keturunan keluarga Riyantama dan Sugiarto. Iya, laki-laki itu ingin memastikan bahwa Rika tidak berbohong melalui putra Willy dan Liana yang ada di foto yang ia cetak kemarin.

Cukup lama Edris berdiri disana, sementara Rika masih setia menunggu laki-laki itu mendapatkan ide untuk bisa masuk ke dalam gedung sekolah tersebut. Ah, terlalu lamanya Edris berpikir membuat satpam yang ada di gerbang sekolah itu menaruh curiga. Mereka berdua saling sikut dan saling pandang, menunjuk Edris dengan sudut mata mereka. Seorang dari mereka kemudian berdiri dan membuka gerbang.

Satpam tersebut berjalan cepat menghampiri Edris yang melihat kepadanya dengan polos. Sementara Rika hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan laki-laki itu. Seakan menyesali sikap Edris tersebut.

"Hei, Dik, kamu ngapain berdiri di situ dari tadi?" tanya satpam tersebut dengan mata penuh selidik kepada Edris.

Tersadar dengan keadaan, Edris refleks saja menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.

"Anu, Pak. A-aku ada perlu ke dalam, mencari anak bernama Agung," jawab Edris dengan polos. Rika yang mengerti betul keamanan di sekolah tersebut seketika menepuk jidatnya dengan kesal.

"Agung siapa, Dik? Aku baru pertama kali melihatmu disini."

Edris menarik nafas, menoleh sejenak kepada Rika yang menggeram dengan mata melotot. Mengisyaratkan agar Edris tidak melakukan kesalahan.

"Oo, begini, Pak, tadi Bu Liana mengantar anaknya ke sini terburu-buru. Sekarang beliau sedang sibuk, jadi dia menyuruh saya untuk mengantar beberapa barang anaknya yang ketinggalan," terang Edris menjelaskan.

Satpam yang bertugas itu memperhatikan Edris dengan penuh selidik, mulai dari kaki hingga kepala, lalu kembali lagi ke kaki. Kebetulan saja Edris membawa ransel hitam, sehingga penampilannya cukup dapat dipercaya. Namun kenyataannya tidak semudah itu untuk Edris dapat masuk ke dalam gedung sekolah tersebut.

Aku Tidak Pernah Hidup (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang