Bagian 12

205 21 0
                                    

Sabtu itu Edris sudah bersiap sejak pagi, baru pukul lima tapi ia sudah selesai bersiap-siap. Jalan ke rumah Cindy akan memakan banyak waktu, ia ingin datang lebih awal agar memiliki banyak waktu luang di sore hari. Namun rencana itu berjalan tak seperti keinginan, adalah Rika yang sejak semalam belum menampakkan dirinya lagi di depan Edris. Membuat laki-laki yang sudah berpenampilan rapi itu bersungut kesal menghabiskan rotinya di meja makan.

Berkali-kali Edris memanggil Rika, namun roh itu tak kunjung menampakkan diri.

"Hei, kamu dimana? katanya kamu selalu mengikutiku?" tanya Edris berkali-kali.

"Rika! kamu dimana? keluarlah!" pintaanya di kesempatan lain.

Setelah lama menunggu, roh perempuan itu tetap tak kunjung datang. Edris memilih untuk pergi sendiri ke rumah Cindy, ia bisa mengurus hal itu sendiri tanpa perlu kehadiran Rika. Ada rasa keterpaksaan yang Edris rasakan untuk menepati janjinya tersebut, terkadang ia mengeluh ringan, entah kenapa ia harus berjanji kepada Rika malam itu? dan sekarang ia begitu dibuat repot oleh keinginan roh perempuan tersebut.

Sepanjang perjalanan, Edris menyibukkan diri dengan ponselnya. Mengirim pesan kepada Aida untuk menyambut pagi gadis itu. Ah, sapaan "pagi Aida!" yang dikirim Edris tak berbalas, meski sudah sepuluh menit ia kirim. Apa perempuan itu masih tidur? tapi jam di tangan Edris sudah menunjukkan pukul tujuh pagi, mana mungkin Aida masih tidur?

Hanya hembusan nafas kesal yang keluar dari mulut Edris, ia memperhatikan ke sekeliling, tidak ada sosok roh Rika disana. Terkadang memikirkan apa yang ia lakukan untuk Rika, ia merasa seperti orang gila. Bagaimana mungkin seorang manusia harus repot-repot memenuhi keinginan sosok roh yang kehadirannya saja tidak nyata di bumi ini. Masih mengawang di dunia atau dimensi yang berbeda darinya makhluk yang nyata.

Pagi itu Edris kembali memasuki pemukiman kumuh di tepian kota. Ia menyapa setiap orang yang ia temui dengan ramah, ibu-ibu yang sibuk mencuci piring di depan rumah mereka, juga para anak-anak yang berpakaian lusuh namun tampak bahagia bermain kejar-kejaran. Sesekali juga Edris memperhatikan sekitar, berharap sosok Rika sudah ada disana. Sialnya yang ditunggu itu tak kunjung tak terlihat. Hingga ia sampai di rumah Cindy pun, Rika masih tak kunjung tampak.

Edris mengetuk pintu rumah Cindy dua kali, ia berbalik badan, melihat rawa-rawa penuh sampah yang mengeluarkan aroma busuk. Ah, entah kenapa ada orang bisa tinggal di tempat seperti itu? Saat pintu terdengar terbuka, Edris berbalik badan, matanya melotot tajam melihat Cindy yang keluar memakai daster lusuh. Ah, bukan Cindy yang ia tatap dengan tajam, tapi sosok Rika yang tersenyum di belakang perempuan itu dengan ramah.

"Maaf, cari siapa?" tanya Cindy yang tidak ingat dengan janjinya pekan lalu.

"Saya Edris, kak, yang datang ke sini minggu lalu."

***

Edris harus menahan rasa kesalnya kepada Rika. Entah kenapa roh itu sudah sampai lebih dulu disana? seharusnya mereka berangkat bersama agar laki-laki itu memiliki teman di perjalanan. Tidak seperti orang bingung karena Aida yang belum membalas pesannya hingga saat itu. Sekarang laki-laki itu baru saja menyesap teh hangat yang dihidangkan Cindy. Ia duduk di ruang tamu rumah sederhana itu.

"Jadi apa yang ingin kamu tanyakan tentang keluarga Willy dan Liana?" tanya Cindy dengan sikap tak pedulinya.

"Tentang anaknya, Agung."

Mereka hening untuk sesaat, hanya denyitan kipas angin tua yang tadi dihidupkan Cindy agar rumah itu tidak terlalu panas. Lumayan uang tiga ratus ribu dari Edris minggu lalu, bisa untuk membeli token listrik dan menghidupkan kipas angin di rumah reyotnya itu. Hembusan nafas panjang keluar dari mulut Cindy ia mencoba menenangkan deru nafasnya sebelum bercerita.

Aku Tidak Pernah Hidup (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang