Bagian 14

201 20 0
                                    

Hujan masih turun dengan deras, tiga mobil hitam mewah sudah terparkir di depan lobi gedung perkantoran. Para pengusaha kaya itu dengan congkak masuk ke dalam mobil mereka. Membuat kagum para karyawan yang ada di sana. Sementara makhluk tak kasat mata memandang mereka dari balik kaca yang buram karena hujan dengan penuh kesedihan di dalam lobi.

Kalimat terakhir Edris dihiraukan oleh Rika. Gadis itu tampak tak ingin menanggapinya. Sementara Edris hanya bisa menahan rasa sabar melihat sikap roh tersebut. Melihat sikap Rika, seakan membenarkan bahwa laki-laki bernama Willy itu adalah ayahnya, tapi Edris masih ingat akan ucapan Cindy pekan lalu, Willy dan Liana sama sekali tidak memiliki anak perempuan sebelum Agung lahir. Edris tidak tahu harus berbuat apa, jika ia membantu Rika dan roh itu punya niat jahat gimana?

"Kenapa kamu bisa ada bersama mereka keluar dari lift?" tanya Edris membuka suara setelah mobil hitam yang dinaiki para pengusaha kaya itu meninggalkan gedung perkantoran tersebut.

"Aku mengikuti ayah sejak tadi pagi dari rumah, ia berbicara dengan paman tentang bisnis kakekku yang belum terurus dengan baik."

"Kamu mengikuti kegiatan ayahmu sejak pagi?" tanya Edris menyelidik.

"Iya, aku selalu mengikuti ayah dan ibu, juga sesekali mengikuti Agung ke sekolah, tapi tidak sekalipun mereka dapat menyadari kehadiranku, mendengar suaraku, apalagi dapat melihatku. Tidak ada yang bisa aku lakukan selain melihat mereka seperti itu."

Edris terdiam sejenak, sungguh itu pilu untuk dirasakan. Kehadiran kita tak pernah disadari oleh orang-orang yang kita cintai.

"Apa kamu punya dendam dengan mereka, Ka?" tanya Edris yang teringat akan ucapan teman-temannya beberapa hari lalu.

"Dendam apa?"

"Atau mungkin kamu punya rasa bersalah kepada keluargamu, dan ingin meminta maaf?" tanya Edris lagi.

Rika hanya menggeleng.

"Kamu ingin mengucapkan salam perpisahan sebelum pergi ke keabadian?"

Lagi, Rika menggeleng. "Aku hanya ingin bilang aku cinta sama mereka, aku sayang mereka dan aku ingin mendengar mereka menyebut namaku dengan ungkapan sayang, cinta dan rindu."

"Hei, Dris!" teriak seorang perempuan yang membuat percakapan Edris dan Rika terhenti. Edris menoleh, tampak Elsa yang baru saja keluar dari lift "kamu belum pulang?" tanya Elsa mendekat ke arah mereka.

Edris membuang nafas panjang, ia harus mengabaikan Rika untuk beberapa saat. Kemudian tersenyum pada Elsa yang mengeluarkan kunci mobilnya.

"Kamu mau tumpangan?" tanya Elsa lagi.

***

Edris mendesis kesal melihat kemacetan di depannya. Ia memukul pelan stir mobil Elsa yang ia kendarai sejak dari kantor tadi. Beberapa titik yang tergenang air membuat jalanan tersendat karena orang-orang menurunkan kecepatan mobil mereka. Sementara Elsa di samping Edris tampak sibuk dengan ponselnya, membuka halaman media sosial.

"Sabar, Dris, namanya juga hujan lebat," gumam Elsa dengan santai, namun Edris tidak menanggapi, "kamu masih tinggal sendiri, Dris?" tanya Elsa lagi membuka percakapan.

"Masih, Sa."

"Kamu tidak mau pulang ke rumahmu?" tanya Elsa lagi yang membuat Rika di bangku belakang ikut melihat kepadanya. Rika memang ikut dengan mobil tersebut karena tadi belum sempat meminta Edris untuk mau membantunya.

"Jangan bicara soal keluarga, Sa. Aku tidak suka," jawab Edris yang melihat ke arah mobil di depannya.

"Kamu harus berbesar hati menerima keadaan keluargamu, Dris. Apapun yang terjadi, seperti apapun kekurangan mereka, kamu harus menerimanya karena merekalah keluargamu, aku pun jika ada kesempatan, aku juga ingin membuat keluargaku kembali seperti dulu," ucap Elsa lagi yang masih melihat layar ponselnya.

Aku Tidak Pernah Hidup (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang