Bagian 9

232 23 0
                                    

Ransel hitam melayang ke atas ranjang Edris. Laki-laki itu melempar ranselnya dengan kesal, ia melenguh panjang karena gagal menemui adiknya Rika. Pantasan saja pengamanan di sekolah itu amat ketat, tidak seperti sekolah lainnya. Ternyata sekolah tersebut adalah sekolah khusus bagi anak-anak yang mengalami masalah mental.

Kali ini Edris harus mencari cara lain untuk memastikan bahwa Rika memang anak dari keluarga tersebut. Jika menemui Willy dan Liana langsung, Edris takut jika ternyata Rika berbohong, itu bisa jadi masalah besar untuk dirinya nanti, dia bisa saja dipecat dari pekerjaannya sekarang karena menebar isu yang salah tentang keluarga pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu. Laki-laki yang tengah bersandar di kursi meja kerjanya itu berpikir panjang. Mencari cara terbaik untuk menepati janjinya kepada Rika.

Sementara roh cantik yang sudah mengikutinya beberapa hari ini, baru saja muncul di ranjang Edris. Entah dari mana dia datang, yang jelas Edris melihatnya terakhir kali di taman tempat ia berbincang dengan seorang perempuan tadi. Suasana mereka hening untuk beberapa saat, tidak ada yang bersuara, karena Edris juga belum menyadari bahwa Rika sekarang sudah berada di kamarnya.

Teramat bingung dia dengan masalah Rika, Edris memilih untuk mengeluarkan ponselnya, membuka room chat dengan Aida untuk sejenak melegakan pikiran.

"Kamu lagi apa?" tanya Rika yang tengah berdiri di samping Edris.

Edris berteriak kaget, ponselnya terlepas dan jatuh ke lantai. Ia berdiri geram, melihat Rika yang melipat tangan di depan dada dengan menahan marah di hatinya.

"Kamu itu bisa nggak, kalau muncul itu jangan buat orang kaget?" ucapnya dengan nafas menderu.

"Ha?" tanya Rika yang kebingungan dengan maksud Edris. Emang dia harus bagaimana saat bertemu dengan laki-laki itu coba?

Edris mendengus kesal, ia mengambil ponselnya yang jatuh ke lantai. Untungnya ponselnya masih menyala. Dicek beberapa fiturnya tidak ada yang bermasalah, membuat Edris sedikit lebih tenang karena ponselnya tidak rusak setelah jatuh tadi.

"Kamu kenapa pulang? bukannya kamu ingin membantuku?" tanya Rika yang mengabaikan sikap aneh laki-laki itu.

Edris berdiri, posisinya amat dekat dengan Rika. Mata mereka saling pandang dalam posisi yang tak lebih dari lima centimeter.

"Sekarang jelaskan, sakit apa adikmu sehingga dia harus bersekolah di tempat tadi?"

"Sakit? dia tidak sakit, bahkan tadi dia tampak bersemangat di sekolah," seru Rika tanpa ada beban, seolah tidak ada yang ditutupinya.

Hembusan nafas berat keluar dari mulut Edris. Sekarang ia tahu bahwa tadi Rika menghilang karena melihat adiknya di sekolah tersebut. Namun hal tersebut tidak membantu apa-apa. Edris memperhatikan wajah Rika dengan penuh selidik.

"Jangan main-main, sekolah itu khusus untuk anak-anak yang bermasalah dengan mental mereka. Anak-anak gila!" ucap Edris dengan nada yang lebih menekan.

Ah, sialnya roh tersebut tidak mengerti akan maksud Edris. Rika malah menyipitkan mata, keheranan dengan laki-laki itu.

"Kamu ini bicara apa? adikku baik-baik saja, dia bahkan selalu semangat saat aku mengunjunginya ke sekolah maupun di rumah," jawab Rika dengan datar.

Edris menahan geram, ia meremas rambutnya sendiri dengan menahan rasa kesal kepada roh di depannya.

"Adikmu menderita sakit apa? autis, bipolar, skizofrenia, atau yang lainnya? kamu pasti tahu, kan?" tanya Edris lagi memastikan.

"He! kenapa hidup kalian manusia begitu ribet? penyakit saja namanya macam-macam, malarialah, DBD-lah, liver-lah, kankerlah, sekarang penyakit apa lagi yang kamu sebutkan?" jawab Rika yang sekarang membuat Edris hampir setengah gila dengan keadaan.

Aku Tidak Pernah Hidup (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang