Mata Edris menatap layar komputer kerjanya dengan fokus. Tangannya mengetik di keyboard dengan cepat. Sesekali ia menggerakkan mouse, memastikan kursornya berada di posisi yang tepat. Sesekali juga ia berpindah ke layar komputer di sebelahnya yang menampilkan bilangan biner. Laki-laki itu sungguh sibuk hari ini, ia harus melaporkan perkembangan software kepegawaian baru untuk perusahaan.
Semakin majunya teknologi membuat banyak perusahaan terus berinovasi meningkatkan kinerja dan keuntungan mereka. Termasuk juga perusahaan tempat Edris bekerja, mereka mengembangkan banyak perangkat lunak untuk menilai kinerja dan mengembangkan kemampuan karyawan. Termasuk membentuk sistem penilaian karyawan agar bisa diperiksa dan dipelajari sebagai dasar pengambilan keputusan pimpinan.
Di ruang kerja tersebut Edris ditemani oleh rekan sedivisinya bernama Rama. Laki-laki itu berada di sisi lain ruangan, sibuk juga dengan komputernya, mengacak-acak beberapa virus komputer untuk menguji software yang mereka kembangkan enam bulan lalu. Ah, sudah enam bulan software itu selesai dirancang, tapi masih berada di tahap uji ketahanan, dan mungkin akan memakan waktu satu atau dua tahun lagi untuk benar-benar siap dipakai perusahaan—karena mereka juga harus me-maintenance secara berkala software-software lain yang sudah dipakai perusahaan.
Rama mengeluh ringan, pekerjaannya memang berat, apalagi atasan menuntut kesempurnaan dari hasil kerja mereka di ruang kerja yang ukurannya tak lebih dari empat kali empat meter itu. Laki-laki itu sejenak berdiri, mendekati Edris yang masih fokus dengan layar komputernya.
"Kau mau makan sesuatu, Dris? Aku mau ke bawah mengambil roti," tutur Rama.
Edris menoleh, "nggak, aku nggak lapar," jawabnya dengan singkat, hembusan nafas kesal keluar dari mulutnya, sial, perutnya masih terasa belum nyaman sama sekali.
Rama kemudian keluar dari ruangan tersebut, menyisakan Edris yang sekarang melihat pada sosok gadis cantik berpakaian putih yang sedari tadi duduk di salah satu kursi kosong di dekat pintu ruangan itu. Gadis itu tersenyum manis, seolah tidak merasa bersalah sama sekali kepada Edris yang kesal kepadanya.
"Kenapa kamu masih disini? keluar sana! aku tidak bisa fokus bekerja jika dilihat seperti ini," keluh Edris dengan wajah sebal.
Gadis itu hanya menggeleng, ia membuang muka, melihat komputer yang tadi dipakai Rama masih menyala.
"Kamu tahu, aku ini manusia normal, jadi jangan membuat aku menjadi orang gila karenamu," lanjut Edris yang masih resah dengan keadaan.
Sejak sampai di kantor, ia sudah tiga kali bolak balik ke toilet. Dan sama, setiap selesai dengan urusannya di toilet, ia membuka pintu dan mendapati gadis cantik berpakaian putih itu berdiri tepat di depan pintu toilet yang ia gunakan. Benar-benar membuatnya malu dan marah dengan kondisi tersebut.
Gadis itu berdiri dari kursi tempatnya duduk, mendekati Edris yang sekarang sudah kembali menatap layar komputer kerjanya. Mata gadis itu melihat tangan Edris yang begitu lincah mengetik di keyboard. Ia juga melihat wajah Edris yang menatap layar komputer dengan fokus. Lalu dengan usil gadis itu meniup tengkuk Edris yang membuat laki-laki itu refleks menghindar.
"He, kamu!"
"Rika," potong gadis itu.
"Ha? apa?"
"Panggil aku Rika, Edris."
Dahi Edris seketika berkerut, "kamu tahu namaku dari siapa?"
"Dari temanmu tadi, dia memanggilmu Edris, kan?"
Edris kembali melihat layar komputernya, melanjutkan pekerjaan. "Jangan menggangguku saat sedang bekerja, aku tidak boleh salah sedikit pun dalam pekerjaan ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Tidak Pernah Hidup (TAMAT)
Terror( TAMAT) Edris tiba-tiba saja bertemu sosok perempuan yang mengikuti kemana pun ia pergi. Sungguh, itu adalah pengalaman baru bagi Edris. Sosok perempuan itu datang kepadanya dan meminta tolong untuk satu hal. Edris menolak karena tidak mau berhubun...