Bagian 23

202 20 0
                                    

Demi mendengar penyakit Agung, anaknya yang telah meninggal dan nama pembantu yang dibuangnya dulu, Willy bergegas menuju kantor polisi. Siapa yang tahu tentang semua itu? Willy benar-benar penasaran dengan orangnya. Namun rasa penasaran Willy tidak sebesar perasaan cemas dan takutnya. Ia tidak ingin semua kesalahan yang ia lakukan terbuka dan membuat nama besarnya dan keluarga Riyantama tercoreng di mata publik. Mobilnya berjalan cepat menembus keramaian jalan. Dalam waktu kurang dari 30 menit, ia sudah sampai di kantor polisi ditemani beberapa orang.

Willy berjalan cepat masuk ke dalam kantor polisi bersama dua orang yang mengiringinya. Semua polisi di sana memberi hormat kepada pengusaha terkenal itu. Polisi yang tadi menanyai Edris langsung mendekati Willy, kemudian menunjukkan jalan kepadanya untuk masuk ke ruang tempat Edris menunggu. Willy mengikuti arahan polisi tersebut, dan dengan jantung yang berdegup kencang, ia mendekat ke arah pintu.

Saat Willy masuk, tatapan matanya dan mata Edris seketika saling bertemu. Edris menatap datar kepada Willy. Meski merasa gugup dan takut menghadapi Willy, setidaknya sekarang dia sudah tahu apa yang terjadi kemarin siang di rumah Willy, dan kemana tujuan Liana kemarin sore membawa Agung. Rika sudah menjelaskan semuanya kepada Edris sebelum Willy sampai ke kantor polisi tersebut. Willy adalah satu-satunya harapan Edris agar tidak berurusan terlalu jauh dengan pihak kepolisian.

Willy masuk ke dalam dengan langkah pelan. Matanya menatap Edris dengan tenang.

"Terima kasih sudah menyelamatkan istri dan anakku," ucap Willy membuka suara.

Edris melihat kepada dua polisi dan dua orang pengiring Willy yang ikut masuk bersama laki-laki itu. Mata Edris kemudian beralih kepada Rika dan Willy bergantian. Tampak Rika menatap Willy dengan raut mata kesedihan. Edris kembali melihat kepada orang yang masuk bersama Willy tadi.

"Aku ingin bicara berdua, Pak," ucap Edris seraya menundukkan kepala, ia menaruh kedua tangannya di atas meja.

Willy menatap dingin kepada Edris, ia kemudian melihat kepada dua orang yang datang bersamanya. Mereka seakan mengerti, kemudian menarik kedua polisi tadi untuk keluar dari sana. Polisi tersebut tentu menolak, mereka berdebat dan kemudian pintu ditutup dari luar setelah dua polisi itu ditarik paksa keluar. Menyisakan Edris dan Willy di dalam ruangan kecil itu.

"Sekarang kita hanya berdua, apa yang ingin kamu katakan?" ucap Willy, ia menarik kursi dan duduk dengan santai. Sikapnya tenang, ia harus hati-hati menghadapi orang yang tahu tentang apa ia sembunyikan.

"Bertiga, disini juga ada putri, Bapak."

Mata Willy seketika menyipit memandang Edris yang sekarang sudah mengangkat kepala memandangnya. Willy tertawa tipis, Edris tampak seperti pemuda aneh baginya.

"Kamu mau memerasku dengan cara bodoh?" tutur Willy dengan datar.

"Aku tahu penyebab penyakit Agung. Dia tidak menderita skizofrenia seperti yang didiagnosa dokter," tutur Edris dengan menjeda kalimatnya. Willy menarik nafas, ia kaget jika Edris yang tidak dikenalnya tahu tentang penyakit Agung. "Jadi sebanyak apapun Bapak menyuntik Agung dengan obat penenang seperti kemarin siang, dia tidak akan pernah sembuh. Dia akan terus mengamuk sampai titik masalah penyebab sakitnya diselesaikan."

Willy menelan ludah. Bagaimana bisa Edris tahu jika kemarin siang ia menyuntik Agung dengan obat penenang?

"Aku memberikan obat sesuai dosis dokter," ucap Willy spontan membela diri.

"Tapi Bapak tidak menyelesaikan masalahnya. Bapak pasti tidak tahu kalau kemarin sore Agung mengamuk di mobil, dia menarik tangan istri bapak sehingga mobil mereka berbelok dan jatuh ke jurang."

Mata Willy membulat mendengarkan itu semua.

"Aku tahu kejadian itu dari putri, Bapak," sambung Edris.

Aku Tidak Pernah Hidup (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang