⁰¹𓋼𝐎𝐫𝐢𝐨𝐧‧𖤣𖥧

140 79 59
                                    

"ANANTA!"

Suara bass dari seorang pria paruh baya yang tengah duduk di sofa ruang tamu, seakan-akan ia sedang menantikan Ananta. Suara itu membuat laki-laki berseragam putih abu-abu dengan kemejanya yang ia keluarkan berdiri di depan pintu rumah bergaya kolonial. Ananta hanya mematung di tempatnya, rahangnya mengeras, ia menggenggam kuat jaket hitam yang ia bawa, tatapannya tajam setajam elang menampakkan betapa tak sukanya kepada pria itu.

"Dari mana kamu?" tanya Sadam; ayah Ananta dengan nada bicara yang semakin meninggi. Namun Ananta malah mengalihkan pandangannya dan menyeringan.

"Ngapain lo ke sini?" ucap Ananta yang membuat Sadam semakin naik pitam. Sadam pun berdiri dan berjalan mendekat kearah putranya itu, Ananta yang menyadari kalau ayahnya kini sudah ada dihadapannya langsung mengalihkan pandangannya, menatap tajam wajah tegas yang ada dihadapannya. Tak lama kemudian sebuah tamparan mendarat dengan mulus dipipi Ananta dan meninggalkan bekas kemerahan.

"Anak kurang ajar, pasti ini ajaran dari jalang sama anak haram itu kan?!" bentak Sadam.

Ananta hanya terkekeh mendengar bentakan dari ayahnya itu, bahkan tak sedikitpun rasa takut yang terpancar dari wajahnya. "Kalo nyokap gue jalang terus lo apa? Sampah?" jawab Ananta dengan tatapan tajamnya. Ia masih bisa menerima tamparan dari ayahnya itu, namun ia tak bisa menahan dirinya jika ibunya dihina, apalagi oleh ayahnya sendiri. Tatapannya yang dingin dan tangannya semakin kuat mencengkeram jaketnya hingga dapat terlihat jelas urat-urat ditangannya.

Ucapan Ananta seperti menyiram minyak ke dalam api, Sadam tidak dapat menahan amarahnya lagi, kini Sadam sudah bersiap lagi untuk menampar Ananta. Namun tangannya terhenti ketika seorang laki-laki berusia 21 tahun mencengkeram tangan Sadam.

"Ngapain kamu disini?!" bentak Sadam.

"Harusnya saya yang nanya, ngapain bapak disini? Ini bukan rumah bapak lagi" jawab Guntur dengan santai.

"Kamu bukan anak saya, jadi kamu ga usah ikut campur!" bentak Sadam.

"Ada perlu apa bapak kesini? Kalau cuma mau minta uang ke bunda mendingan bapak keluar!" tegas Guntur yang membuat api diantara mereka semakin memanas. Namun Sadam tak dapat berbuat apa-apa selain mengumpat didalam hatinya, karena yang berhadapan dengannya sekarang adalah Guntur bukan Ananta yang akan diam saja ketika ia menghajarnya.

"Mendingan bapak keluar sekarang, apa perlu saya panggilin satpam?" tegas Guntur.

Sadam yang sudah tidak dapat berbuat apa-apa langsung meninggalkan rumah bergaya kolonial itu dengan rasa kesal yang mendominasi didalam dirinya. Sedangkan Ananta dan Guntur hanya menatap punggung Sadam yang semakin menjauh.

"Lo ga-papa ta?" tanya Guntur yang masih menatap kepergian Sadam, namun tidak ada jawaban dari adiknya itu. Ketika Guntur membalikan tubuhnya untuk melihat keadaan adiknya itu, ternyata Ananta sudah menghilang bak ditelan bumi.

****

Ananta membuka pintu kamarnya, kamar yang didominasi dengan warna putih dengan lukisan-lukisan buatannya yang tertata rapi di setiap sisi kamarnya. Ananta menutup pintu kamarnya dan meletakan tas serta jakernya di atas meja belajarnya, kemudian ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuknya. Ia juga tidak menyalakan lampu kamarnya membuat ruangan itu menjadi semakin gelap dan sunyi. Hanya ada sedikit cahaya yang masuk dari jendela kamarnya, dan suara dentingan jam yang mengisi seluruh ruangan. Ananta mencoba memejamkan matanya dan terlelap, namun ia masih merasakan nyeri dibagian pipinya karena tamparan dari ayahnya.

Tak selang beberapa lama Guntur membuka lebar pintu kamar Ananta dan duduk disamping ranjang Ananta sembari membawa sekantong es untuk menompres memar dipipi Ananta.

"Bangun bentar, kompres dulu memar lo" titah Guntur namun Ananta sama sekali tidak mempedulikan itu, ia masih memejamkan matanya.

"Ananta!" panggil Guntur namun Ananta masih tak bergeming.

"Ananta Prameswara!" panggil Guntur dengan nada bicara yang lebih tinggi sembari menempelkan sekantung es yang ia bawa ke pipi memar adiknya itu dan membuat Ananta terkejut.

"Asu!!" umpat Ananta karena terkejut sembari bangun dari tidurnya. Sedangkan Guntur hanya menahan tawanya melihat wajah Ananta yang terkejut dan merasa kesakitan karena memarnya itu. "Pelan-pelan cok, bonyok ini bukan blush on bencong!" teriak Ananta sembari mengelus pipinya yang memar.

"Tau, makanya dikompres dulu adekku sayang" jawab Guntur sembari menyingkirkan tangan Ananta dan menekan kompresnya dipipi Ananta dengan sedikit menekannya, membuat Ananta mengerang karena merasakan nyeri dan jijik karena ucapan menggelikan kakaknya itu. Namun sebaliknya Guntur malah tertawa melihat tingkah adiknya itu. Ananta pun menarik tangan Guntur, menjauhkan tangannya dari pipinya yang memar.

"Pelan-pelan anjing!" bentak Ananta sambal mengelus-elus pipinya.

"Gue jadi ga yakin kalau lo ketua Resphara" jawab Guntur ragu dan hanya dibalas dengan tatapan tajam Ananta yang sudah siap untuk menghajar kakaknya itu sampai babak belur.

Guntur yang paham dengan tatapan itu langsung mengalah dan kembali menempelkan kompres ke pipi Ananta lebih keras dari pada sebelumnya sambal berkata "Iya deh, gue percaya lo ketua Resphara". Dan sekali lagi Ananta terkejut karena ulah jahil Guntur.

"Sialan lo!" teriak Ananta sambal memukul asal ke arah Guntur, sedangkan Guntur hanya tertawa melihat tingkah kekanak-kanakan Ananta. Memang Ananta sekarang sudah menginjak umur 17 tahun, namun Guntur tetap menganggapnya seperti adik kecilnya yang sering menangis memohon cookies dengan susu stroberi. Walaupun kakak beradik tetapi mereka sangat berbeda, Guntur dengan sifatnya yang lemah lebut dan nilai akademiknya yang tak pernah dibawah KKM sedangkan Ananta yang pendiam namun perasa dan menyalurkan semua yang ia rasakan melalui lukisannya.

"Nih kompres sendiri!" titah Guntur sembari memberikan kopres itu ke Ananta. Ananta menerima sekantong es itu dan menempelkan ke pipi memarnya, namun tatapan Ananta ke Guntur masih sama seperti sebelumnya; tataan seperti singa lapar yang melihat sekumpulan mangsa. Namun yang Guntur yang ada dibayangan Guntur bukanlah singa yang ingin menerkamnya, melainkan seekor kucing munchkin yang sedang marah.

"Kalau udah dikompres langsung mandi terus makan, tadi gue udah masak sop ayam" ucap Guntur sambal berjalan keluar dari kamar Ananta.

"Kata bunda, gue ganteng dari lahir, jadi ga usah mandi" jawab Ananta sambil berjalan mendahului kakaknya itu menuju meja makan. Guntur hanya membalasnya dengan senyuman dan mengikuti Ananta menuju meja makan.

GIMANA CHAPTER PERTAMANYA, SERU GA NIH?

Apa yang mau disampein ke Ananta & Guntur?

Apa yang mau disampein ke Ranu?

JANGAN LUPA VOTE, SPAM KOMEN & FOLLOW!
BIAR AKU UPDATE LEBIH CEPET

JANGAN LUPA LANGSUNG BACA CHAPTER "SORAYA"

864,3 Tahun Cahaya Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang