"Gue duluan ya, San"
Gadis yang dipanggil San itu hanya mengangguk. Merapikan buku di meja kerjanya sebelum beranjak pulang.
Jarum di arlojinya sudah menunjukkan pukul 5 sore. Ia bergegas, menaiki sepeda motor matic yang senantiasa menemani harinya. Menuju ke tempat yang sudah 3 tahun terakhir menjadi tujuannya melepas penat setelah bekerja, sebelum kembali ke rumah.
Sesampainya di sana, dia mendudukkan dirinya pada bangku yang biasa. Mengeluarkan buku bersampul biru dengan bertuliskan inisial 'S' pada bagian depannya, menyumpal telinga dengan earphone. Alunan nada yang indah mulai memenuhi rongga pendengarannya.
Jemarinya mulai menuliskan aksara demi aksara yang menciptakan kalimat. Beriringan dengan suara merdu Meiska yang mulai menyanyikan bait pertama lagunya.
Bukankah kau yang datang kepadaku?
Perhatianmu tumbuhkan rasaku
Padahal ku tak pernah meminta padamu
Tapi kau yang lebih dulu, hadirkan rasa ituPena yang tengah bergerak pun berhenti, terdengar helaan nafas berat dari gadis itu. Aksara yang tengah ia tulis belum usai, tapi gadis itu lebih memilih tak menyelesaikannya. Menyandarkan kepala pada sandaran bangku, ia tampak memejamkan mata.
Bila ada salah ku tolong beri tahu
Jangan lalu pergi dan menjauh
Kau tawarkan cinta, kini hilang tanpa bilang
Mungkin mudah bagimu lupakan ku tapi sulit bagiku tuk hilangkan bayang mu
Ku terlanjur mencintaimuYa, memang benar, 3 tahun berlalu tetapi kepergian seseorang itu masih menyisakan tanya.
Andai ku tahu kan sesakit ini, ku tak kan mungkin mencintaimu sedalam ini
Sialnya saat kau pergi ku terus menanti
Kau yang buat ku jatuh hati, kini hilang tak kembali'3 tahun sudah semenjak kau pergi, aku masih menanti mu kembali. Tapi pada kenyataannya kau enggan menengok hati yang pernah kau singgahi ini'
Tak terasa buliran air mata menetes. Meski tahun berganti, rasa dihati gadis itu masih enggan pergi. Rasa yang entah kapan kan beranjak, pergi mengikuti jejak orangnya.
Alunan nada yang terdengar tiba-tiba berhenti, gadis itu tak menghiraukannya. Ia masih menikmati luka yang menganga di hatinya. Namun, lagu lain dengan nada yang lebih ceria terdengar. Gadis itu mengernyit, membuka mata dan menyadari bahwa bangku di sebelahnya sudah ada yang mengisi.
"Orang kalo galau tuh jangan dinikmati, tapi dilawan. Kalo lo nikmati terus, yang ada rasa itu ngga akan pergi, San", ucap seorang laki-laki berhoodie di sebelahnya.
Gadis itu menoleh, namun tak menjawab. Hanya terdengar helaan nafas berat darinya. Ia memandang langit yang perlahan menggelap seiring waktu yang bergulir hari itu.
"Udah 3 tahun semenjak Panca pergi, lo masih mikirin dia. Lo ngga capek, San?"
Dia, Sanjana. Gadis yang gemar sekali menikmati luka. Menghabiskan 3 tahun bertemankan air mata, tanpa pernah mau tuk beranjak.
Tak kunjung mendapatkan respon dari Sanjana, pria berhoodie itu terdiam. Turut memandang langit yang menggelap di depan sana.
"Aku capek, Ga. Tapi aku ngga tau gimana caranya harus berhenti. Setiap titik di kota ini selalu ada kenangan antara aku sama dia", terdengar helaan nafas panjang dari Sanjana.
"Asal lo mau, gue bisa bantu buat lupa. Tapi harus ada kemauan dari diri lo dulu buat lupa", jawab pria berhoodie tanpa mengalihkan pandangan dari langit yang sudah sepenuhnya gelap.
Dia Arga, seorang pria yang setia menemani 3 tahun penuh lukanya Sanjana. Dia, yang menumbuhkan benih perasaan tanpa balasan. Yang memilih tuk memendam semua rasa agar tak merusak kepercayaan Sanjana padanya sebagai teman. Dia, yang entah sampai kapan kan bertahan menemani luka Sanjana yang enggan hilang.
"Udah gelap, Ga. Pulang yuk!", Sanjana tampak mengemasi barang-barangnya dan bergegas ingin pergi.
Arga mengikuti langkah kaki Sanjana dalam diam. Ia tak ingin bertanya terlebih dahulu sebelum Sanjana yang memulai pembicaraan.
"Kamu ga bawa motor lagi, Ga?" tanya Sandra memecah keheningan.
"Engga, kan sengaja biar pulangnya boncengan sama lo"
"Kebiasaan"
"Pulangnya mau mampir nasi goreng langganan kita ngga, San?" tawar Arga untuk mencairkan suasana.
"Next time deh, Ga. Aku capek banget, masih mau ngurusin beberapa kerjaan juga"
Arga tampak kecewa, tapi tak memaksa keputusan Sanjana.
"Ok deh next time, tapi lo yang traktir ya? Kerja mulu gue ngga pernah ditraktir"Sanjana terkekeh geli mendengar protes dari Arga.
"Iya deh siap!"Sampai di sepeda motor Sanjana, mereka bergegas. Membelah jalanan dalam keheningan namun dengan isi kepala yang saling bergemuruh bersahutan.
...
Jarum jam menunjukkan pukul tujuh malam ketika Sanjana sampai di rumah. Padatnya jalanan membuat dia terlambat hampir 40 menit dari biasanya.
"Baru pulang mba? Lembur ya?", suara lembut itu menyapa Sanjana ketika ia baru saja memasuki rumah.
Dengan senyuman hangat yang menghiasi wajah cantiknya meskipun diusia yang sudah tidak muda lagi. Secara magis mampu menyihir Sanjana dan ikut membalas senyum hangat sang ibunda.
Sanjana mendekat dan mencium punggung tangan ibunya.
"Engga bu, tadi mampir ke taman biasa. Cuma kejebak macet aja di jalan jadi agak telat deh"
Ibunya menangkup pipi tirus Sanjana, mengelusnya sayang.
"Yasudah, mandi gih. Ibu sudah masakin kesukaan kamu loh! Kita makan sama-sama ya"
"Siapp bu, jangan mulai makan tanpa aku yaa", gadis itu bergegas meninggalkan ibunya.
Dari tempatnya duduk, ibu masih terus memandangi anak gadisnya itu. Sudah lama dia tidak melihat gadisnya ini bahagia. Apa ini masih ada sangkut pautnya dengan laki-laki itu? Atau memang pekerjaannya yang membuat sang buah hati lelah? Ah entahlah. Apapun itu, ibu hanya bisa berdoa semoga putrinya baik-baik saja.
Tak terasa kedua sudut mata ibu meneteskan air. Mengingat saat ini hanya Sanjana lah yang ibu punya. Jadi ketika anak gadisnya itu terlihat sedih, ibu selalu tidak tega.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Kau, dan Luka
Genç Kız EdebiyatıPercaya atau tidak, luka adalah guru terhebat. Ia mendewasakan tanpa dipaksa, ia mendewasakan tanpa diminta, ia mendewasakan, dengan rasa sakit yang luar biasa. Lantas, mengapa luka yang satu ini enggan beranjak? -update setiap hari Minggu-