Yoshi tidak sempat memikirkan kertas undangan pengambilan raport, tatkala mama menelponnya dengan suara tersengal-sengal. Waktu mama bilang dadanya terasa sesak, Yoshi langsung dilanda panik luar biasa. Raut wajahnya seketika keruh. Yoshi langsung mengabaikan sekelilingnya detik itu juga dan berkali-kali hanya bisa menatap jarum jam yang entah bagaimana terasa sangat lamban. Tapi untungnya, bel pulang berbunyi nggak lama kemudian. Anak itu langsung bergegas ke apotek dekat sekolah buat membeli ventolin inhaler untuk mama.
Belakangan ini, Asma akut mama memang sering kambuh, dan karenanya Yoshi nggak bisa tidur dengan nyenyak. Tiap tengah malam, anak itu sering diam-diam masuk ke kamar mama dan menghabiskan lima belas menit cuma buat menghitung berapa kali mama menarik napas dalam tidurnya. Sambil duduk di lantai sisi ranjang, anak itu seringkali merenung, lalu berakhir menangis.
Yoshi bukan anak yang kuat, tapi selama ini dia selalu berpikir bahwa selagi dirinya masih bisa melihat senyum mama, maka segalanya akan baik-baik saja. Lantas bagaimana jika sosok itu tidak ada lagi dalam hidupnya?
Begitu Yoshi sampai di rumah, dia langsung bergegas ke kamar mama dengan hati yang sarat akan kekhawatiran. Pintu kamar mama terbuka lebar, tapi, di ambang pintu, langkah Yoshi justru tertahan. Sesak membuncah di dadanya kala mendapati mama tengah berbaring miring di kasur, menghadap ke arah tembok, sambil sesekali terbatuk dan menarik napas berat.
Yoshi menarik napas, sebelum menelan sesak itu bulat-bulat lalu lintas memberanikan diri melangkah ke arah ranjang. Dia menjatuhkan tasnya ke lantai, hingga menimbulkan bunyi benturan yang membuat mama membalikkan badan.
Wanita itu tersenyum dengan wajahnya yang pucat pasi, mata merah berairnya —akibat batuk terlalu keras untuk waktu yang lama— menatap teduh pada Yoshi, tapi justru bikin dada Yoshi seolah dihujam ratusan belati.
"Mama... nggak denger kamu ... ucap salam," kata mama dengan tersengal-sengal.
Yoshi terdiam. Dia yakin, kalau bicara sekarang, suaranya pasti akan bergetar. Yoshi hanya duduk di pinggir ranjang, membuka bungkusan berlogo apotek lalu mengeluarkan isinya. Dia lantas merangkul mama buat membantunya duduk, menyusun beberapa bantal buat mama bersandar agar mama bisa memakai inhaler dengan benar.
"Yoshi bantu pake inhalernya."
"Mama bisa sendiri." Mama menolak, lantas mengambil benda biru berbentuk tabung dari tangan Yoshi, menjepitnya dengan mulut lalu menekan bagian atas benda itu dan menghela napas lega.
"Mama udah masak capcai, Yoshi suka, kan?" Mama bertanya tiba-tiba, kali ini nggak dengan tersengal-sengal lagi.
"Mama masak apa aja Yoshi suka," jawabnya sembari menepikan helaian rambut yang menjuntai di wajah mama. "Masakan mama selalu enak. Bintang lima," lanjutnya lalu terkekeh.
Mama tersipu. "Gimana tadi sekolah? Lancar?"
"Besok bagi raport."
"Apa mama perlu ke sekolah?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Konstelasi 12 Bintang | TREASURE OT12
FanficXII IPS X, kelas terburuk di sekolah terbaik. Kelas yang namanya disebut paling akhir. Kelas yang kau hanya akan mendengar keburukannya dari orang lain. 12 anak laki-laki yang mengisi kelas XII IPS X itu bagaikan kutub magnet yang sama, saling tolak...