" Tsuzumi"
" Hm" sahut Tsuzumi tanpa menoleh. Tampaknya, ia sibuk dengan tumpukan berkas resmi di atas mejanya.
" Lihat ini" ucap Astra kemudian seraya memperlihatkan secarik kertas tebal dihadapan sang komandan.
Tsuzumi mengerutkan alis. Ia menengadah dan menatap laki-laki itu." Ini petaku. Dimana kau menemukannya?"
" Di rak tempat kau menyimpan buku-bukumu. Aku menemukannya terselip di sana " sahut Astra santai sambil melipat lengan.
Tsuzumi memerhatikan peta itu." Kau tidak ada kerjaan lain selain memeriksa setiap sudut ruang kerjaku,ya?"
Astra tersenyum simpul." Maaf" Ia memandang Tsuzumi yang masih serius menatap tiruan permukaan bumi itu. Astra membungkuk dan menumpukan kedua sikunya diatas meja sambil ikut memerhatikan peta." Kau mengerti cara membacanya?"
Tsuzumi menoleh hingga wajah mereka bertemu hampir tanpa jarak. Ia mengangkat sebelah alisnya." Tentu saja. Kau pikir aku tidak tahu?"
" Siapa yang mengajarimu?" tanya Astra balik sembari menopang dagu.
" Jenderal Hamae"
Tiba-tiba, Astra menjentikkan jarinya di depan wajah gadis itu." Jika kau tahu cara membacanya, pasti kau tahu dimana kita sekarang"
Tsuzumi menunjuk kota Hiroshima yang berada di pulau Honshu, Jepang." Disini"
" Lalu, dimana Washington DC?"
Tsuzumi mengalihkan telunjuknya ke ibukota Amerika Serikat.
" Jaraknya jauh sekali" komentar Astra sambil mengusap dagu.
" Ya, tapi satu-satunya jalan terdekat adalah Samudra Pasifik"
Astra beralih menatap gadis itu." Samudra Pasifik? Aku pernah mendengarnya,tapi aku belum pernah melihat samudra itu secara langsung"
" Itu wajar kan? Hiroshima berada di tengah-tengah pulau"
Astra manggut-manggut. Ia menatap lekat pada selebaran kertas didepannya.
" Katanya, Samudra Pasifik adalah samudra yang indah. Laut raksasa dengan cekungan air garam terbesar di dunia. Hampir semua Palung ada di samudra ini. Sejauh mata memandang, kau hanya akan melihat horizon matahari terbit"
" Keren " gumam Astra berbinar.
" Samudra itu akan lebih indah lagi jika kau dilemparkan ke sana " timpal Tsuzumi bergurau.
Astra tertawa renyah sembari mencubit pipi gadis itu." Lakukan itu dan aku akan..." ucapnya menggantung kalimatnya. Ia mendekat dan mengecup kedua pipi Tsuzumi.
Tsuzumi tertawa geli sambil menahan dada laki laki itu agar berhenti.
Astra tersenyum. Ia beralih menatap peta di atas meja gadis itu.". Samudranya luas sekali" gumamnya seraya menyentuh bagian kota Hiroshima,lau dengan perlahan ia menggeser jarinya hingga berhenti di Washington DC. Laki laki itu mengerutkan alis." Berbicara masalah Samudra terluas,aku punya ide"
🌸
" Komandan Tsuzumi, berapa banyak sisa prajuritmu saat ini?" Jenderal Hamae mengajukan pertanyaan kepada Tsuzumi ketika ia mengadakan pertemuan para pimpinan pasukan malam itu.
Tsuzumi menghela nafas." Hari itu, Jenderal menambah Pasukan Berani Mati hingga jumlahnya mencapai 1.270 prajurit. Tapi karena pertempuran kemarin, jumlah prajurit tersisa 952 orang. 20 diantaranya terluka parah"
Astra menatap Tsuzumi dari samping. Ia menepuk bahu gadis itu, mencoba menenangkannya.
Tsuzumi menoleh sambil tersenyum kecut." Prajurit kita berkurang. Mayoritas yang gugur dari kalangan prajurit baru " bisiknya pelan.
Jenderal Hamae membuang nafas berat. Tampaknya,ia sedang memikirkan sesuatu.
" Jenderal, Pasukan Amerika selalu datang menyerang dengan persenjataan yang lebih lengkap dari persenjataan kita. Itu sebabnya pasukan kami banyak yang gugur di medan pertempuran " lapor Fujiki Yamada, Komandan Pasukan Angkatan Udara.
" Kita harus melakukan sesuatu, Jenderal. Kita tidak bisa diam saja " tukas Hikaru Moinon, Komandan Pasukan Pemanah.
" Kau benar, Komandan. Kita harus melakukan sesuatu " sahut Jenderal Hamae berpikir berat.
" Jenderal, izinkan aku berbicara "
Secara bersamaan, Jenderal, 4 komandan, dan 3 kapten lainnya menoleh kearah sumber suara. Ruang pertemuan itu hening seketika. Seluruh perhatian tertuju pada kapten baru itu.
" Bicaralah, Kapten Ashuka " ucap Jenderal Hamae mempersilakan.
Tsuzumi menggenggam erat tangan Astra yang duduk di sampingnya. Ia menatap laki laki itu. Jelaslah dari raut wajahnya bahw ia benar-benar lelah.
" Tenang saja. Percayalah padaku" bisiknya meyakinkan. Tangannya yang lain memegang tangan mungil yang masih menggenggam tangan kanannya. Astra beralih menatap sang jenderal. Wajahnya berubah serius." Jenderal,jalur terdekat antara Jepang dan Amerika hanya Samudra Pasifik. Aku berpikir, mungkin dengan mengirim beberapa mata-mata ke Washington DC, kita bisa mencuri informasi tentang rencana mereka selanjutnya. Dengan begitu, kita bisa mengatur rencana dan mengalahkan mereka, sekaligus membunuh Komandan Max Holter"
Sejenak,tak ada pembicaraan.
Jenderal Hamae mempertimbangkan." Mengirim mata-mata? Mencuri informasi? Tampaknya strategi itu sangat rumit. Lagipula, kita tidak punya Pasukan Mata-mata"
" Soal prajurit yang akan dijadikan mata-mata, aku sudah menentukan orangnya " ujar Astra mantap.
" Siapa?!" tanya 4 komandan serentak.
Astra terkekeh. " Seperti yang sudah kupikirkan sebelumnya, aku memilih lima orang yang kesemuanya dari Pasukan Berani Mati: aku, Komandan Tsuzumi, Kori Hamada,Rei Tetsuka, dan Nagiwa Iseiya. Bagaimana, Jenderal?"
" Pilihan yang tepat. Kau memilih prajurit-prajurit yang ahli dalam strategi. Tapi, untuk menyeberangi samudra --"
" Aku bermaksud meminjam salah satu pesawat milik Pasukan Angkatan Udara" sahut Astra menyela. Ia menoleh kearah Komandan Fujiki." Boleh kan?"
Pria itu mengangguk sambil tersenyum kagum akan keahlian Astra dalam menyusun strategi.
" Bagaimana, Jenderal?" tanya Astra kemudian.
Jenderal Hamae berpikir sejenak. Hal yang membuat seisi ruangan menjadi tegang. Kemudian, sang Jenderal mengambil keputusan. " Baiklah. Strategi yang kau buat cukup meyakinkan, Kapten. Aku akan mengirim kalian ke Washington DC malam ini juga. Tapi ingat, jangan sampai mereka tahu bahwa kalian adalah mata-mata Jepang"
Astra mengangguk singkat. Para pimpinan pasukan pun bangkit membubarkan pertemuan malam itu.
" Semoga berhasil, Kapten" ucap Komandan Akiro sambil menepuk bahu Astra.
" Kami mengandalkanmu" sambung Komandan Hikaru menambahi.
Astra hanya membalasnya dengan senyuman kecil.
" Terimakasih, Astra" ujar Tsuzumi hangat.
Astra terkekeh pelan." Sudah kubilang kan? Selama ada aku, semua akan baik-baik saja" Astra merangkul tubuh mungil gadis itu dan mengecup pipinya,lalu beralih ke keningnya." Ayo. Urusan kita masih belum selesai. Kita akan berangkat malam ini juga"
🌸
Pesawat A2- R siap lepas landas di landasan pesawat milik Pasukan Angkatan Udara Hinomaru dengan Rei Tetsuka dan Nagiwa Iseiya sebagai pilot.
" Ayo, berangkat" seru Kori bersemangat. Prajurit senior terdekat Tsuzumi yang paling gaduh. Bisa dikatakan, Kori adalah prajurit Pasukan Berani Mati yang paling ceria. Wajahnya selalu dilengkapi senyum lebar.
" Bersabarlah. Aku sedang berkonsentrasi" gerutu Rei tanpa menoleh. Kedua tangannya menggenggam alih kendali pesawat.
" Ingat, Rei. Jangan tidur" peringat Nagiwa yang duduk disebelahnya.
Rei tersenyum miring." Itu takkan terjadi"
Astra dan Tsuzumi duduk dibelakang Rei dan Nagiwa. Sedangkan Kori duduk dibelakang mereka.
" Ini akan jadi perjalanan paling keren" ucap Kori penuh antusias.
" Semoga strategi ini berhasil" Tsuzumi berharap cemas.
Astra tersenyum menenangkan sembari memegang tangan gadis itu." Percayalah. Kapten baru ini takkan mengecewakan" Ia beralih pada Rei dan Nagiwa." Rei, Nagiwa, bersiaplah untuk lepas landas "
" Baik, Kapten " sahut keduanya bersamaan sambil masih mengatur beberapa tombol. Setelahnya, mereka memegang kendali pesawat dengan ekspresi wajah yang serius. Mungkin karena ini adalah pertama kalinya mereka memegang kendali pesawat.
" Sekarang!" perintah Astra diiringi dengan berlandasnya pesawat pinjaman itu.
" Ingat, Rei. Jangan tidur "
Rei menghela nafas." Kau sudah mengatakan itu dua kali, Nagiwa " sahutnya seraya melempar senyum kepada gadis itu.
" Kalau begitu jangan tidur "
" Hm. Baiklah "
Selang beberapa lama, pesawat sudah berada di atas Lautan Teduh, Samudra Pasifik. Astra melempar pandangan ke luar jendela pesawat.
" Indah, bukan?" tanya Tsuzumi ketika ia mendapati Astra masih terpaku pada lautan luas itu.
Astra mengangguk takjub. " Peta itu benar. Samudra Pasifik benar-benar luas"
Tsuzumi tertawa kecil." Jadi awalnya, kau tidak percaya dengan peta itu?"
" Tidak "
Tsuzumi tersenyum sembari menepuk bahu laki laki itu." Seseorang harus belajar percaya sebelum dia bisa dipercaya, Astra "
Astra menoleh. Menatap gadis disampingnya." Aku masih hidup sampai detik ini, karena aku tidak percaya siapapun "
" Dasar keras kepala " ketus Tsuzumi gemas.
Astra tertawa lepas. Kemudian, perhatiannya tertuju pada sesuatu di luar jendela." Lihat "
Tsuzumi menoleh. Ia tersenyum saat pandangannya menangkap matahari terbit dari horizon di ufuk timur.
" Sudah pagi,ya?" ucap Rei masih memegang kendali pesawat." Kita sudah sampai di benua Amerika"
Dan benar saja. Mereka melihat benua terpanjang di dunia itu berada di bawah pesawat. Perlu waktu beberapa lama untuk bisa sampai di Washington DC.
" Ini Amerika Serikat? Luas sekali" decak Kori takjub.
Namun, ketika pesawat mulai mendekati ibukota, Rei teringat sesuatu. Wajahnya berubah tegang. Tangannya yang masih memegang kendali pesawat gemetar begitu saja.
" Rei, ada apa?" tanya Nagiwa.
Tsuzumi, Astra, dan Kori spontan menoleh.
" Ada masalah apa, Nagiwa?" tanya Tsuzumi menengahi.
" Rei, ada yang salah?" tanya Nagiwa lagi.
Rei menelan ludah." Aku lupa memberitahumu, Nagiwa. Aku... tidak tahu cara mendaratkan pesawat "
Hening.
" Tapi, Rei. Aku juga tidak tahu caranya " ucap Nagiwa panik.
Astra mengerutkan alis. Ia melirik sejenak ke luar jendela." Kita sudah tiba di Washington DC. Rei, tarik tuas di sebelah kirimu"
Rei jadi begitu panik. Ia pun menarik tuas yang salah hingga membuat pesawat hilang kendali. Pesawat A2-R pinjaman itu melayang-layang tak terkontrol di langit Negeri Paman Sam.
" Rei, kau menarik tuas yang salah!" seru Astra menimpali.
Rei dan Nagiwa tak berkesempatan menarik tuas yang dimaksud karena merasa pusing dan mual.
" Komandan, Kapten, aku tidak mau mati sekarang!" teriak Kori panik.
Tsuzumi mengerutkan alis." Kita harus mendaratkan pesawat ini! Tidak boleh ada yang terluka!" Dengan nekat, ia melepas sabuk pengamannya dan melangkah pelan mendekati tuas itu.
" Tsuzumi, ini berbahaya!" Astra segera menahan ujung seragam gadis itu.
Tsuzumi memegang tangan Astra yang menahannya dan menguraikannya." Tidak ada pilihan lain, Astra. Pasukan Hinomaru sangat bergantung pada kita" Ia berbalik dan mendekati tuas. Rasanya bumi seperti berputar-putar. Hingga akhirnya, Tsuzumi berhasil memegang tuas itu." Tuasnya macet!" Ia berusaha menarik tuas, namun benda itu seakan tidak mau bergerak.
" Kapten, kita akan menabrak!" peringat Kori sambil melihat ke luar jendela.
Tsuzumi berusaha menarik tuas itu lebih keras. Keringat dingin membasahi wajah dan lehernya.
" Komandan, tidak ada harapan lagi. Kita akan menabrak!" seru Nagiwa.
Tsuzumi menyerah. Tangannya terasa lemas, seolah berpikir mereka akan berakhir tragis. Namun, tiba-tiba sepasang tangan muncul dan menggenggam erat tangannya yang masih memegang tuas. Tsuzumi menoleh." Astra"
" Ayo, Tsuzumi. Aku belum siap mati sekarang. Aku bahkan belum sempat menikahimu"
Tsuzumi mengerutkan alis. Mereka menarik tuas itu sekuat tenaga. Hingga akhirnya, usaha mereka berhasil dan tuas pun berpindah arah. Pesawat A2-R mendarat di hutan yang terletak di sebelah utara Washington DC.
Seisi pesawat hening sejenak. Lalu terdengar suara helaan nafas panjang.
" Kita selamat" gumam Rei gemetar.
" Akhirnya, kita selamat!" seru Kori senang.
" Kita berhasil" Nagiwa tersenyum lega.
Astra dan Tsuzumi saling pandang. Nafas mereka terengah setelah menghadapi kepanikan yang baru saja terjadi.
" Apa kau terluka?" tanya Astra cemas.
Tsuzumi menatap laki-laki itu dengan tatapan berkaca-kaca. Dadanya terasa sesak." Kita berhasil. Kita... masih hidup"
Astra menarik gadis itu dan memeluknya erat. Kini ia mengerti kenapa Jenderal Hamae mengangkatnya sebagai komandan. Rupanya gadis ini punya nyali yang lumayan besar. Dia berbeda. Astra mengecup kening Tsuzumi lama. Menenangkan gadis dalam pelukannya." Tenanglah. Kita selamat. Tidak ada yang terluka" bisiknya lirih sembari mengusap rambut Tsuzumi lembut.
🌸
Fajar menyingsing saat Pasukan Mata-mata Jepang turun dari pesawat.
" Akhirnya, sampai juga" ucap Rei lega sambil merenggangkan kedua lengannya.
Aku lega kita masih bisa bernafas " timpal Kori menambahi.
Rei segera menyiapkan sebuah meja dan kursi. Nagiwa datang dan meletakkan komputer diatas meja.
Tsuzumi duduk dan mengutak-atik papan keyboard benda itu sambil menatap layarnya." Sekarang,kita berada di hutan utara kota. Butuh waktu beberapa menit untuk bisa sampai di kota "
" Kalau begitu, ayo pergi " sahut Kori.
" Tunggu " cegat Rei." Komandan, kita tidak bisa pergi dengan seragam seperti ini. Kita harus melakukan penyamaran"
Hening.
" Nagiwa "
" Ya, Kapten "
" Ambil kotak hitam didalam perlengkapan darurat pesawat "
Nagiwa mengangguk. Ia masuk ke dalam pesawat dan kembali dengan kotak yang dimaksud sang kapten.
Astra membuka benda itu. Didalamnya, tersusun rapi beberapa stel pakaian berwarna gelap.
" Astra, darimana kau mendapatkan ini?" tanya Tsuzumi.
Astra terkekeh." Aku pikir, kita tidak mungkin memata-matai Amerika dengan seragam seperti ini. Jadi, kusiapkan ini sebagai penyamaran"
" Kalau begitu, kita harus segera bergegas. Waktu kita tidak banyak " tukas Tsuzumi serius.
Astra tersenyum miring." Tidak. Bukan kita. Hanya aku "
Tsuzumi mengerutkan alis." Apa maksudmu?"
" Aku akan memata-matai markas Amerika dengan menyamar. Itu akan lebih mudah agar kedok kita tidak terbuka. Kalian berjaga-jaga di sekitar tempat ini. Tsuzumi,awasi sinyalku. Dengan begitu, kau bisa mengetahui keberadaanku. Aku akan memberikan kabar melalui earphone" papar Astra menjelaskan.
" Baik, Kapten!" sahut ketiga prajurit serentak.
KAMU SEDANG MEMBACA
About Dream
Historical FictionSebuah kisah romansa yang diangkat dari peristiwa bersejarah di dunia. Ashuka Fujihima tak pernah menyangka perjanjian itu akan menjadi titik awal perubahan hidupnya.Perlahan, semuanya menghilang. Semuanya direbut oleh lincahnya gerakan peluru y...