Hukuman Mati

2 0 0
                                    

" Akhirnya sampai juga" ucap Rei lega. Ia menghempaskan bokongnya dipermukaan tanah, bersandar di dinding pesawat.
Mereka berhenti melangkah. Sekarang mereka kembali dengan nafas tersengal, letih, dan luka-luka.
Astra mendudukkan Tsuzumi diatas sebuah batang pohon yang sudah tumbang. Lalu duduk disamping sang komandan. Ia menekan luka tembakan dibahu gadis itu. Astra menciut saat mendengar suara ringisan Tsuzumi. Laki laki itu menyeka air mata Tsuzumi lembut." Maaf"
Tsuzumi tersenyum kecil." Biarkan Nagiwa mengambil peralatan darurat. Setelah itu, dia akan --" ucapnya terputus saat Astra memeluknya erat.
" Seandainya saja aku tidak tertangkap,aku pasti tidak akan melukaimu"bisik Astra parau.
Tsuzumi membalas pelukan itu sembari menyandarkan dagunya dibahu Astra." Itu tidak penting. Melihatmu tersenyum seperti itu lagi membuatku lega"
" Tsuzumi, terimakasih karena telah ada"
🌸
Astra memerhatikan berkas-berkas mengenai misi yang tertumpuk didepannya. Ia menghela nafas. Lalu beralih memandang Tsuzumi yang sedang terlelap ditempat pembaringannya. 2 hari sejak pasukan itu berada di Negeri Paman Sam. Menghirup udara asing. Namun misi seharusnya belum sepenuhnya selesai.
" Pasukan Mata-mata"
Astra terkesiap. Rupanya Jenderal Hamae memanggil melalui alat komunikasi milik Tsuzumi. Ia segera meraih benda itu." Jenderal, ini Kapten Astra"
" Bagaimana dengan misi kalian disana, Kapten?"
Astra membuang nafas pelan. Ia memandang langit malam melalui jendela." Maaf, Jenderal. Misi kami belum sepenuhnya selesai"
" Aku mengerti. Apa kalian terluka?"
" Ya. Tapi tidak begitu parah. Komandan tertembak dua peluru secara berturut-turut"
Jenderal Hamae terdiam sejenak." Kapten, jaga Tsuzumi. Begitu misi kalian selesai, segeralah kembali ke Jepang"
" Baik, Jenderal"
🌸
" Aku akan menyelesaikan misi ini " ucap Astra meyakinkan.
Ketiga prajurit itu saling pandang. Rei mengedikkan bahu. Dari respon mereka, jelaslah mereka ragu membiarkan kapten itu pergi ke Markas Pusat Pasukan Besar Amerika sendirian.
" Tapi bagaimana dengan Komandan?" tanya Kori.
" Biarkan dia istirahat. Malam ini aku akan kembali dengan informasi yang lebih lengkap "
Ketiga prajurit itu terdiam.
Astra membuang nafas." Jangan khawatir. Aku Astra. Kalian lupa? Kali ini aku tidak akan ketahuan. Setelah misi ini selesai, kita akan kembali ke Jepang " ujarnya seraya berbalik dan keluar dari pesawat. Siluetnya menghilang diantara pepohonan.
" Kapten pergi sendirian,ya" Kori memecah keheningan.
Rei berdecih kemudian." Ck! Aku lupa memasangkan alat sinyal " Ia menepuk dahinya.
Ketiga prajurit itu berlari menghampiri pendeteksi radar. Dan benar saja, Astra sama sekali tidak menggunakan alat sinyal atau earphone.
" Bagaimana ini,Rei? Jika Komandan tahu Kapten pergi sendirian tanpa sinyal..." ucap Nagiwa menggantung kalimatnya. Dan mereka tahu apa yang akan dikatakan gadis itu selanjutnya.
" Masalah ini akan lebih besar lagi jika Kapten tertangkap" tukas Kori menambahi.
Rei terdiam. Tampak sedang berpikir." Kita tidak punya pilihan lain selain membiarkan Kapten pergi sendirian. Kita juga tidak bisa meninggalkan Komandan disini. Dia sedang sakit"
🌸
Dengan gerakan gesit dan tanpa suara sedikitpun, Astra berhasil masuk kedalam ruangan Komandan Max. Ia menganggap misi kali ini sangat mudah. Sebab dilarut malam begini, hanya sedikit prajurit yang masih terjaga.
" Pasti ada sesuatu disini"gumam Astra sambil memeriksa setiap jengkal ruangan Komandan Max. Kemudian,ia kembali menemukan foto ayahnya--Profesor Ajiro Fujihima --tergeletak diatas meja itu. Astra mengerutkan alis. Kejadian 11 tahun lalu kembali membenahi pikirannya. Miris.
Sejurus kemudian, Astra menemukan beberapa berkas tentang perkembangan pasukan dan persenjataan milik pasukan barat itu. Ia memeriksa semua berkas disana. Membosankan, batinnya.
Kurang lebih setengah jam ia menggeledah semua sisi ruangan. Tangannya berhenti bergerak saat secarik kertas terjatuh dari selipan buku yang tengah dipegangnya. Astra membungkuk dan meraih kertas itu. Membuka lipatannya dan membaca tulisan disana.
Menurut laporan, orang yang membuat bom bunuh diri itu adalah Profesor Ajiro Fujihima. Bom itu diledakkan di Armada Angkatan Laut Amerika oleh pasukan Jepang. Kami akan menyusun rencana untuk menghancurkan titik kemajuan negara itu.
Astra membeku. Seakan darahnya berhenti berdesir, ia membaca tulisan itu berulang ulang.
Orang yang membuat bom bunuh diri itu adalah Profesor Ajiro Fujihima.
Sebenarnya, Ayahmu adalah seorang penjahat. Kau telah tertipu oleh kebohongannya, Astra. Karena dia, perang ini semakin meluas.
Tapi, tidak mungkin. Astra mengeraskan rahang sambil meremas kertas itu dalam genggamannya. Nyalinya menciut saat mendapati kertas lain yang terselip.
Profesor Ajiro Fujihima dan keluarganya berhasil dibunuh, kecuali putranya. Dia adalah satu satunya keturunan terakhir dari klan Fujihima. Pemerintah pusat memerintahkan agar menangkapnya, hidup atau mati.
Astra membuang nafas kasar. Ini artinya, ia juga sedang diincar. Tapi, apa salahku?
Mungkin Ajiro memang membuat bom itu. Tapi bukan dia penyebab bom itu diledakkan di Amerika dan menciptakan perang besar yang hampir melibatkan seluruh dunia.
Astra tersentak saat merasakan sesuatu yang menusuk tengkuknya. Lehernya terasa panas. Ia meraba dan mencabut sesuatu dari sana. Laki laki itu merasa pusing. Seakan dunia berputar. Astra menatap benda yang tadi ditembakkan ke lehernya. Obat bius.
🌸
Perlahan, kedua matanya mulai terbuka. Astra mengerjap untuk memperjelas penglihatannya. Ia memandang kesekitar. Kenapa...aku berada disini? batin Astra saat mendapati dirinya terikat disebuah kursi. Ia berusaha melepaskan diri. Tapi tidak bisa.
" Sudah sadar, ya"
Astra menoleh. Ia menyipitkan mata, mencoba mengenali pria berseragam militer yang berjalan kearahnya. Langkah pria itu diiringi Komandan Max." Jenderal William"
Pria itu tertawa kecil." Iya, Nak. Aku William Hans" Ia memerhatikan wajah laki laki didepannya." Komandan, apa dia benar benar putranya Profesor Ajiro Fujihima?"
" Benar, Jenderal. Dia Kapten Ashuka Fujihima. Rekan rekannya memanggilnya dengan panggilan Kapten Astra" sahut Max hormat.
" Oh, jadi anak Profesor Ajiro adalah Kapten Pasukan Berani Mati Hinomaru. Kau keturunan terakhir?" tanya William santai.
Astra mengangguk singkat.
Jenderal William menatap laki-laki itu. Tangannya bergerak memegang pipi Astra. " Komandan, dia tak mirip Ayahnya"
" Benar, Jenderal. Kapten Astra hanya mirip dengan Ibunya. Tapi dia punya nyali yang lumayan tinggi"
William pun menguraikan tangannya. Ia tersenyum kecil." Anak yang manis" Pria itu beralih menatap Max." Komandan, karena dia ditangkap dalam keadaan hidup, aku ingin dia dihukum mati, sama seperti Ayahnya"
" Tapi, aku tidak bersalah! Kenapa kalian masih mengincarku?!" sergah Astra tegang.
" Sebab, jika aku membiarkanmu hidup, besar kemungkinan rencanaku untuk menghancurkan Jepang akan kacau. Setelah kau dibunuh, tidak akan ada lagi nama Fujihima di dunia ini " sahut William seraya tersenyum licik." Komandan, siapkan pedang dan prajurit yang akan memenggal kepala anak ini. Aku ingin dia dihabisi didepanku"
" Baik, Jenderal "
Astra menelan ludah. Hukuman mati? Ia beralih menatap ke luar jendela, memandang langit yang masih gelap. Hanya diterangi oleh beberapa bintang. Laki laki itu menoleh dan melihat Komandan Max datang bersama seorang prajurit yang memegang sebilah pedang tajam. Astra meringis kecil." Aku akan mati" gumamnya.
Prajurit itu mengambil posisi berdiri disamping Astra. Ia mengangkat pedangnya. Bersiap untuk memutus urat leher laki laki itu.
" Ada kata kata terakhir?" tanya Jenderal William sebelum pedang itu diayunkan." Mungkin ada yang ingin kau katakan sebelum pedang itu merebut nyawamu malam ini"
Astra mengangguk pelan." Kurasa, bukan benda itu yang akan membunuhku. Aku berpikir, bahwa diriku akan mati terhormat. Tapi mungkin masih lama"
" Cukup" William memberikan isyarat kepada prajurit itu.
Astra spontan memejamkan mata saat tahu pedang itu mulai diayunkan. Kemudian, ia mendengar suara tabrakan antara dua pedang. Aneh. Kenapa pedang itu belum menebas leherku? Astra memberanikan diri membuka mata." Aku belum mati"
" Ya. Kau memang belum mati"
Suara itu. Tentu saja Astra mengenalnya. Ia menoleh dan mendapati sang komandan tengah menahan pedang prajurit itu dengan pedangnya." Tsuzumi"
Tsuzumi melempar senyum. Lalu menendang perut prajurit itu hingga terpental." Astra, kau baik-baik saja?" tanyanya seraya berusaha membuka ikatan yang membelenggu tangan laki laki itu.
" Apa yang kau lakukan disini?" tanya Astra.
Tsuzumi mendengus." Kau tidak lihat? Aku sedang berusaha menyelamatkanmu"
" Tapi kau sedang sakit"
Tsuzumi tersenyum tipis.
" Komandan Tsuzumi!" seru Jenderal William geram.
Tsuzumi menoleh sambil terkekeh canggung." Eh, Jenderal William. Aku ingin mengambil Kaptenku kembali"
" Tidak! Anak Profesor Ajiro itu harus dihabisi malam ini juga"
Profesor Ajiro? Tsuzumi terdiam seakan tak percaya.
" Tsuzumi, aku akan dihukum mati" ujar Astra mengadu.
Tsuzumi menoleh. Menatap laki laki itu lekat. Jadi dia benar putranya Profesor Ajiro? Ia menggeleng kuat." Jika dia benar benar akan melakukannya, akan kugenggam kota ini ditanganku. Akan kupastikan kau tidak akan gugur dengan cara seperti ini, Astra. Aku akan mempertahankanmu"
" Kau akan mempertahankan putra dari orang yang membuat perang ini semakin parah?" Jenderal William bertanya sengit.
Tsuzumi mengeraskan rahang. Ia menebas ikatan tangan Astra dengan pedangnya. Lalu meraih tangan laki laki itu.
" Prajurit! Tangkap anak itu. Habisi dia. Jika perlu bunuh komandan wanita itu juga " perintah Jenderal William diikuti dengan datangnya beberapa prajurit Amerika yang langsung mengepung Astra dan Tsuzumi dari penjuru arah.
" Astra, kau punya senjata?" tanya Tsuzumi tanpa menoleh. Masih fokus dengan orang orang disekitar mereka.
" Tidak"
" Pantas saja"
Astra terkekeh. Mereka mengambil posisi saling membelakangi. Lalu menciptakan pertarungan sengit dengan para prajurit itu.
Entah karena lengah atau apa, salah seorang prajurit berhasil melukai lengan atas Tsuzumi. Gadis itu merintih tertahan.
" Tsuzumi, kau tidak apa-apa?" tanya Astra cemas. Hal itu membuatnya lengah. Dan tanpa disadari, seorang prajurit hendak menebasnya dari belakang.
" Astra, dibelakangmu!" pekik Tsuzumi tak sempat membalas ayunan pedang itu. Namun secara tiba-tiba, prajurit itu tertembak dan akhirnya tersungkur. Entah sudah mati atau belum. Ia menoleh dan melihat ketiga prajuritnya datang dengan pistol ditangan.
" Komandan!" seru Nagiwa sembari melemparkan sebuah pistol kearah Tsuzumi.
Tsuzumi menangkapnya. Lalu dengan cepat, ia menembakkan peluru kearah Jenderal William.
Pria itu mengerang sambil memegang luka tembakannya. Ia menatap Tsuzumi penuh kebencian. " Beraninya kau!" Jenderal William menoleh kepada Max yang tengah menekan lukanya." Komandan, kerahkan seluruh prajuritmu dan tangkap orang-orang Jepang itu!"
Tsuzumi segera menarik tangan Astra dan menatap para prajuritnya. " Ayo, kita harus segera pergi dari sini"
Ketiga prajurit itu mengangguk. Lalu mengikuti langkah cepat sang komandan.
" Komandan, Pasukan Amerika mengejar kita" pekik Rei diantara nafasnya yang terengah.
" Ayo, lewat sini" ucap Tsuzumi menuntun seraya berbelok ke kiri koridor.
Selang beberapa lama berlari, menghindar dari kejaran Pasukan Amerika, mereka sampai di landasan pesawat milik Pasukan Angkatan Udara Amerika.
" Cepat! Kita tidak punya banyak waktu" perintah Tsuzumi setelah membuka pintu masuk salah satu pesawat disana.
" Kau mau merampas pesawat mereka?" tanya Astra begitu mereka berada didalam pesawat.
Tsuzumi mengambil alih kendali pesawat dengan Astra disampingnya." Aku tidak merampasnya. Aku hanya meminjamnya. Tapi tidak akan kukembalikan" Ia menoleh kebelakang." Apa semuanya sudah masuk?"
" Sudah, Komandan " sahut Rei diikuti dengan berlandasnya pesawat rampasan itu.

About Dream Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang