Day 2

1K 117 6
                                    

"IBU ..."

Drama pagi ini dimulai dengan rengekan Aya yang mewek parah di kasurnya. Tahu Abinya sudah berangkat ke pesantren membuatnya sedih luar biasa karena tidak diajak lagi. Entah apa yang Aya dan Abinya lakukan kemarin di kampus sampai anaknya ketagihan begini diajak mengajar.

"Bentar lagi Abi pulang kok, Nak, ditungguin aja ya, nggak lama lagi ini,"

"Aya mau itut," cicitnya bersuara sedih.

"Iya nanti Abi pulang lagi kalau udah siang. Aya ikut Ibu mandi dulu yuk, supaya kalau Abi udah dateng Aya udah rapi juga. Okey?"

"Abi nanti pulang lagi?"

"Iya, nanti pulang. Ayo, anak sholihahnya Ibu mandi dulu biar seger. Tadi ikut sahur kan, ya, sama Abi sama Ibu, hebat banget loh anak ibu nih!" pujiku sembari membujuknya dalam gendonganku menuju kamar mandi.

Aku dan Kak Fathar memang tidak luput mengapresiasi apu pun yang dilakukan Aya, selama hal itu adalah kebaikan. Kami berdua sepakat menerapkan basis cinta dalam mendidik amanah kami yang satu dan berharga ini. Belum lagi anak kami adalah perempuan, beda cara mendidiknya antara anak lelaki dan anak perempuan. Dan itu sudah harus diterapkan sedini mungkin agar kedepannya anakku tidak krisis identitas. Perempuan tidak cenderung seperti lelaki atau lelaki yang justru cenderung seperti perempuan. Semua itu berakar dari lingkungan pertama yang mendidiknya.

Selesai memandikan Aya, kita berdua lanjut bermain bersama di ruangan tengah dengan backsound murottal metode Ummi dari radio hafidzah Aya yang baru dibelinya kemarin mengisi ruangan. Aya hanya punya tiga mainan sejauh ini, satu set mainan masak-masakan, radio hafidzahnya dan mainan manual dari benda sekitar yang biasanya dibuat denganku. Sisanya adalah buku-buku.

Tidak heran jika ibunya sibuk memasak Aya seringkali ikut bereksperimen di dapur, sebab sedari fase bermainnya Aya sudah dibiasakan mengenal apa itu dapur. Bukan aku mendoktrin putriku bahwa memasak adalah kewajiban kodrat perempuan terhadap laki-laki, aku tetap meyakini bahwa memberi nafkah adalah kewajiban lelaki bukan perempuan, melainkan aku hendak menanamkan bahwa ada spesifikasi berbeda antara kemampuan yang sunnah dilakukan bagi anak perempuan dan laki-laki. Ketika anakku adalah perempuan, yang notabenenya harus didasari perlakuan lemah lembut, maka aku tidak akan memintanya belajar memalu atau memanjat. Karena itu bukan spesifikasi kemampuan yang diperuntukkan bagi mereka perempuan. Akan lebih baik aku membekali ia kemampuan memasak yang benefitnya akan ia rasakan sampai tua.

Kemudian radio hafidzahnya, Aya mungkin sudah menganggapnya seperti sahabat yang suaranya selalu menemani Aya bermain di rumah, sepanjang waktu! Tidak heran ketika radionya rusak kemarin, Aya seperti ditinggal mati oleh sahabatnya. Tujuan kami sebagai orangtua Aya sebetulnya memang demikian. Kami ingin sejak dini anak kami familiar dengan bacaan Al-Quran, kedua kami ingin anak kami memiliki kepedulian. Hablum minallah wa hablum minannas. Lebih dari harapanku, Aya bahkan peduli tidak hanya kepada manusia, tapi kepada benda mati sekelas radionya saja dia sudah membangun ikatan.

"Ibu, Aya buat teh,"

"Wah, makasih anak ibu," ucapku sembari menerima gelas mainannya yang kosong.

"Masya Allah enak banget, Ya!" ucapku antusias.

"Ibu cyuka?"

"Sukaaa. Nanti cobain ke Abi deh, Abi pasti seneng banget dibuatin teh buatan Aya,"

"Okey, Ibu," ucapnya sembari memelukku. Aku ikut memeluknya sembari pipinya kukecup gemas.

"Udah besar aja anak Ibu, semoga jadi anak sholihah yang selalu sayang Abi dan Ibu, ya. Aamiiin."

"Ibu, ayo chama Abi," rengeknya masih dengan aksi memelukku, berharap aku bersedia menemaninya.

Ramadhan Tale 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang