Day 30

837 61 1
                                    

YANG kemarin cemburu-cemburuan hari ini sudah main bersama saja. Mazaya menganggap Malik sudah seperti kakak sendiri dan Malik menganggap Mazaya sudah seperti adik sendiri. Mana Aya sukanya memaini Mona junior, tambah pekerjaan Malik saja melindungi Mazaya dari cakaran maut kuku panjang Mona. Sakin sepaketnya mereka bertiga—Malik, Mazaya, Mona junior—sampai dibuatkan gelang khusus oleh Abah lalu ditambahkan inisial M di gelang tali mereka, bahkan untuk kalung Mona juga!

Pagi tadi aku sekeluarga datang berkunjung ke rumah Abah dan Umah lagi, Umah sudah cuti—bahkan persiapan resign untuk jadi ibu sempurna untuk Malik—tadinya Umah minta Abah mengantarnya ke toko serba-serbi membeli bahan dekorasi lebaran, tapi berhubung Abah sedang kusandera jadi mungkin ke tokonya dipending agak sorean nanti.

Seperti halnya Mazaya dan Abinya, aku dan Abahku juga punya ritual bersama setiap kali bertemu di rumah kami. Setidak-tidaknya aku perlu quality time berdua dengan Abah mengobrolkan banyak hal di setiap pertemuan. Dulu ketika masih usia-usia sekolah kita tidak segan membahas kegiatan-kegiatanku, mulai dari cerita randomku ke panti dengan teman-teman, jam pulang dan les pianoku, wejangan-wejangan Abah, bahkan sampai menu request buka puasa jika Abah hanya sempat quality time lewat telepon denganku. Sekarang ini, obrolan kami makin ke sini makin terdengar dewasa, Abah suka berdiskusi tentang rumah tangga, nasihat-nasihat pernikahan, belum lagi belakangan ini Abah sering mengirim pesan-pesan puitis padaku. Katanya, its been a long time! Aku sudah benar-benar dewasa tanpa ia sadari dan dia mencintaiku.

Mungkin setelah tahu kabar Kak Fathar mengundurkan diri dari jabatannya dengan segala urusan yang terikat dari pengunduran diri tersebut. Aku memang hanya memberitahukan Umah kemarin bahwa aku akan pindah ke Madinah, aku sama sekali belum memberi tahukan Abah meski mungkin Abah sudah tahu kabarnya dari pondok. Aku berniat memberitahu secara langsung kepada Abah, makanya kita ke rumah Abah dan quality time berdua lagi di halaman teras depan. Sebagaimana Aya dan Kak Fathar, aku mengingat betul aku dan Abahku juga sering lari-lari di halaman di depanku saat ini. Mengundang selaput air mataku perih saja!

"Huffft! Bibah pengen ngomong, tapi mata Bibah perih banget deh, Bah. Entar malah nangis lagi, malu dicengcengin Abah nanti," lirihku berkata jujur menetralkan seluruh kalimatku.

"Soal apa nih? Soal kamu yang kangen sampe peluk Abah segini bangetnya? Apa gimana?"

"Soal itu juga. Abah makanya janji dulu ke Bibah, apa pun yang terjadi, Abah nggak boleh nangis!"

"Yang suaranya bergetar bakalan nangis kayanya kamu deh! Ngasih tahunya masa ke Abah?"

"Ya udah. Aku kasih tahu langsung ke Abah. Tapi syaratnya nggak boleh sedih. Insya Allah ini bukan kabar buruk sama sekali ..."

"Bibah ... Bibah bakal pindah, Abah, ke Madinah insya Allah," sambungku sekuat tenaga melawan sesak yang mendadak berkumpul di dada.

"Itu aja? Abah udah tahu kali. Dikasih tahu Umah sama Abi Barak," balasnya sembari menyapu pundakku yang sedari tadi dirangkulnya.

"Bibah tahu, tapi kan Bibah pengen ngasih tahu langsung. Mungkin Abah nggak akan sedih banget kalau Bibah sampaikan langsung. Abah kan senengnya kalau apa-apa kita ngobrol. Kebetulan aja keputusannya lebih mendadak dari kabar nikah anak satu-satunya Babah dulu, jadi ngasih kabarnya masih ke Umah. Umah lebih release kayanya setelah ada Malik, sisa Abah nih yang mau dikasih pengertian,"

"Ya ... Abah sih dukung-dukung aja kalau suamimu yang minta. Nggak enak juga kalau Fathar perginya sendiri, apalagi perginya ke negerinya Rasulullah, apalagi ninggalin kamu di pondok aja nggak ada kerjaan, apalagi modelan kamu udah kaya cinta mati gitu kalau ditinggal suami. Beh! Harusnya kamu ikut,"

Ramadhan Tale 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang