Day 18

543 74 4
                                    

SEHARI dari kejadian cekcok subuh kemarin, aku dan Kak Fathar jadi saling menarik diri dari pembicaraan. Selain untuk urusan dengan Aya, kami sangat mustahil menyambung pembahasan tentang apa pun. Yang terbayang di kepalaku adalah semua hal tentang Kak Fathar dan Ustadzah Iza, Kak Fathar mungkin marahnya karena aku terus memojokkan keadaannya kemarin meski memang seperti itu yang terjadi sesungguhnya. Aku yakin dengan apa yang terlanjur kuketahui, terserahlah itu dia katakan ingin pindah meninggalkan pondok segala macam, aku tidak akan mau meninggalkan tempat ini.

Meski sudah sangat berat rasanya perasaanku berpuasa dalam keadaan berselisih dengan suami sendiri, terlebih ini sudah hari kedua. Lewat dari tiga hari dua orang muslim tidak saling bertegur sapa, Islam tidak lagi menghalalkan hal tersebut. Setiap detiknya kami seakan melipat gandakan dosa-dosa yang kami perbuat, kami hanya menambah luas penampungan kedurhakaan dengan terus mengabaikan syariat hanya karena gengsi kami berdua.

"Ibu, kata Abi Aya baca celitanya di dekat ibu," lapor anaknya setelah dua kali bolak-balik dari kamarnya ke kamar Abinya yang secara tidak langsung menjadi penyambung pesan.

"Tolong Aya bilang ke Abi ya, buku cerita yang baru ibu simpan di laci dekat meja belajarnya. Ibu beresin tempat bobonya Aya dulu," elesku.

"Iya, Bu," Aya berlari lagi ke kamar Abinya.

"Ibu ..." Suara Aya kembali datang menemuiku, "Ibu, Abi nggak liat. Kata Abi, ibu go ambil,"

Ck! Padahal ... aku benar-benar malas melihat Kak Fathar di depan mataku.

Dengan sangat terpaksa alibiku membereskan tempat tidur Aya kutinggalkan dan tersenyum manis di hadapannya, "Ya udah, ayo ambil bukunya sama Ibu,"

"Ayo," Tangan Aya kugenggam masuk ke dalam kamar Kak Fathar, sesaat Aya kulihat masih menungguku hingga bukunya kutemukan lalu setelah aku berbalik dia sudah hilang mengganggu Abinya di kasur.

"Abi jangan bobo, Abi nggak boleh bobo, ada Aya di ciniii ..." rengek Aya keukeh tidak membiarkan Abinya memejam mata.

Ketimbang mengganggu mereka, aku memilih berangkat ke kamar Aya sendirian begitu bukunya kutemukan. Aku akan menunggu Aya diusir oleh Abinya untuk tidur siang segera denganku.

"Ayo, Abiii ... bobo cyama Aya!!!"

Apa itu? Aya ke sini bersama siapa???

Baru saja aku ingin memastikan kedatangan Aya yang seolah diikuti elesan-elesan menghindar Kak Fathar tidak ingin bertemu denganku, Aya sudah di belakangku saja menyeret Abinya ikut bersama dia. Sempat kami saling bertemu pandangan sebelum akhirnya membuang muka lagi bersamaan.

Kacau ini. Tidak mungkin kami menidurkan Aya bersama! Kami sudah terlihat amat kaku berinteraksi di depan Aya, pakai Aya minta ditemani Abinya juga.

"Abi bobo chini, Aya dekat Abi. Ibu chini," sibuk anaknya mengatur bantal masing-masing di sana, "Ibuuu, ayo chini tepuk Aya,"

Ya Allah, rasanya ... hatiku mau dan tidak mau turut bersama mereka, jika saja bukan permintaan Aya sudah jelas aku lebih memilih mencari tempat lain untuk kujadikan tempat menyendiri. Siang itu kami bertiga benar-benar saling berbagi kasur. Belum lagi kasur Aya kecil, otomatis space yang tercipta sangat ketat. Aya memelukku ketika nyaman ditepuk, Abinya juga khidmat hampir tertidur memdengarku melantunkan mantra-mantra tidur dari setiap bait yang kubaca dari buku cerita Aya. Hingga akhirnya ...

Tek!

Sebuah tangan tiba-tiba saja terjatuh tepat di punggung tanganku yang secara begitu saja menghentikan tepukanku pada anakku yang juga tertidur. Kupikir Kak Fathar sengaja atau modus pegang-pegang lagi, ternyata benar-benar ketiduran.

Ramadhan Tale 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang