Bab 5

858 453 118
                                    

Tandai typo!

Tiga hari. Sudah tiga hari Maudy tak melihat Leno di perpustakaan. Biasanya laki-laki berkacamata itu lebih dulu datang ke perpustakaan dan duduk di bangku pojok sembari membaca buku, wajahnya serius, terkadang terlihat sedikit cemberut saat mengerutkan kening membaca kalimat rumit. Tetapi, saat ini batang hidungnya tak terlihat. Maudy menunggu Leno di perpustakaan, siapa tahu laki-laki itu datang. Namun lagi-lagi, lelaki yang ditunggunya tak kunjung tiba. Hal itu membuat Maudy menjadi penasaran. Ke mana Leno pergi? Apa yang terjadi padanya?

Maudy merasa gelisah. Sudah tiga hari ini Leno tak terlihat di perpustakaan, tempat mereka biasa bertemu. Rasa penasaran bercampur cemas menghantuinya. Ia sudah menanyakan keberadaan Leno kepada ketiga temannya. Tetapi Revan hanya menggeleng, dan menjawab bahwa Leno sudah tiga hari ini tidak berangkat. Ponselnya pun mati saat di telpon.

Maudy ingin tahu keadaan Leno, ingin memastikan apakah ia baik-baik saja. Sayangnya, ia tak tahu di mana rumah Leno. Seandainya ia tahu, ia akan langsung  mengunjunginya, mengetuk pintu, dan menanyakan kabar lelaki itu dengan tangan gemetar.

Perasaan cemas itu semakin kuat. Ia teringat senyum Leno yang  selalu  menghiasi wajahnya saat melihat Maudy, terkadang ia menyapa dengan anggukan kepala yang lembut dan menghibur. Apakah senyum itu masih ada? Apakah ia baik-baik saja? Maudy mencoba mengusir rasa cemasnya. Ia mengambil buku dan mencoba berkonsentrasi membaca. Namun, bayangan Leno terus berkibar di  benaknya, membuat kata-kata di buku itu tak kunjung masuk ke dalam pikirannya.

Perpustakaan ini sepi tanpanya, suasana yang biasanya dipenuhi dengan senyuman laki-laki itu, kini terasa langka. Maudy duduk terdiam menatap bangku yang biasa Leno duduki, seolah-olah masih bisa merasakan kehangatan yang pernah terukir di sana.

"Maudy, kamu gila? Aku cari kamu ke sekeliling perpustakaan, ternyata kamu lagi duduk di sini?" Seorang perempuan berambut ikal berjalan menghampiri Maudy yang sedang membaca buku.

"Aku gak gila, ya. Lagian kenapa kamu gak telpon aku aja? Bisa, kan," balas Maudy tanpa mengalihkan pandangannya dari buku.

Aqeela Felixia, perempuan berdarah Aussie-Bandung ini adalah teman dekat Maudy dari SMP. Rupanya yang cantik dan memiliki rambut pirang asli.

Ia yang duduk di samping Maudy hanya cengengesan. "Ponsel aku ada di tas, lupa bawa. Ku kira bakal langsung ke kelas, ternyata duduk dulu di sini."

"Kenapa kamu sering ke Perpustakaan, sih? Apa jangan-jangan ada seseorang yang lagi dekat sama kamu?" Aqeela memicingkan kedua matanya menatap Maudy menggoda. "Terus ketemunya di perpustakaan, biar semua orang gak tau kalau seorang Maudy tengah dekat dengan laki-laki. Apa dugaan ku itu betul?"

Mendengarnya, kedua pipi Maudy bersemu merah. Ia berusaha untuk menahan senyum yang ingin meledak di bibirnya. "Eh, nggak gitu, Ah!" Maudy menepis tuduhan Aqeela dengan gerakan tangan yang terlihat sangat berusaha untuk tetap tenang. "Aku cuman suka baca buku di perpustakaan, suasananya nyaman, buat aku fokus." Maudy mencoba menjelaskan, namun matanya tetap menunduk, takut jika Aqeela melihat kemerahan di wajahnya.

"Masa, sih?" goda Aqeela dengan senyum jailnya. Ia menaikkan sebelah alisnya, menunggu reaksi Maudy yang terlihat semakin gugup.

Maudy menutup bukunya, beralih menatap Aqeela yang masih senyum-senyum. "Kenapa, sih?" tanya Maudy melihat Aqeela yang terlihat sedikit freak. Maudy berusaha tetap tenang, namun jantungnya berdebar kencang. Ia takut jika Aqeela tahu rahasianya.

Leno Alendra [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang