Bagian 2

592 108 12
                                    

Senyum Delia mengembang,  ia berpikir kedua temannya serius kalau Dimas tak datang. Delia juga merasa takut pesta akan batal. Namun, nyatanya acara pernikahan mereka berlanjut.

"Kalian berdua, sukses buat aku ketakutan." 

"Kita serius." Maya dan Greta berucap secara serempak. Mereka yakin dan mereka tidak salah dengar.

"Sudah-sudah, semua sudah jelas sekarang. Terima kasih, ya." Delia tersenyum dan berjalan mantap menuju altar, dimana tempat ia akan mengucapkan janji suci sehidup semati dengan Dimas. Pria yang ia cintai selama ini.

Semakin dekat dengan altar, Delia memperlambat langkahnya. Ia mengerutkan keningnya, memperhatikan secara seksama pengantin pria. "Dia bukan Dimas," gumam Delia pelan.

Pria yang berada di altar memang hampir mirip dengan Dimas tapi pria itu memiliki postur tubuh yang lebih tinggi, kulit putih dan warna rambut coklat. Sedangkan Dimas, bekulit kuning langsat dan rambut hitam legam.

"Kita sudah bilang, Dimas tidak datang." Maya prihatin dengan nasib Delia. Seharusnya hari ini adalah hari bahagia bagi Delia. Namun, sekarang berubah menjadi sebuah derita. Ia bisa melihat dari mata Delia yang mulai berkaca-kaca.

"Rasanya aku tak sanggup."

Delia ingin berbalik dan berlari menjauh, meninggalkan tempat pernikahannya namun ia mencoba untuk menahan diri saat melihat wajah-wajah sedih orangtuanya. Mereka pasti malu jika acara pernikahan ini sampai batal.

"Kami tahu tapi...." Greta kehabisan kata-kata. Ia tak tahu apa yang harus ia ucapkan. Meminta Delia sabar atau kabur. Semuanya adalah hal yang tak mungkin. Jika ia berada di posisi Delia, mungkin ia akan menangis sambil meraung menerima takdir yang pahit.

"Aku tak punya pilihan." Berat hati, Delia melanjutkan langkahnya.

Hati Delia semakin teriris saat melihat jelas wajah pria yang ada di hadapannya. Bukan karena pria itu jelek. Pria itu justru memiliki paras yang rupawan melebihi Dimas namun apalah arti semua itu, jika hatinya telah dimiliki oleh Dimas.

Dimas adalah cinta pertamanya. Delia masih berharap, Dimas bisa menjadi cinta terakhir baginya.

"Kita bisa langsungkan acara pernikahan ini sekarang?" Seorang pemandu acara bertanya untuk memastikkan.

"Ya," jawab Delia terpaksa.

Memangnya ia bisa apa? Selain pasrah pada takdir yang Delia rasa cukup kejam. Beberapa menit lagi ia akan menikah dan menjadi istri seorang pria yang tidak ia kenali.

Dalam sebuah acara pernikahan, sangatlah wajar jika seseorang pengantin wanita menangis, entah karena terlalu bahagia atau terharu. Namun, berbeda dengan tangis Delia, ia menangis pilu saat pria asing itu mengucapkan janji sehidup semati dihadapan Tuhan. Janji yang seharusnya Dimas ucapakan. Bukan pria itu.

Rasanya seluruh tulang Delia melemah dan tak mampu berdiri lebih lama lagi. Saat mengetahui pernikahan mereka telah sah.

"Jika kamu lelah, istirahatlah. Kamu bisa duduk di sana."

Delia menatap mata pria yang kini sudah berstatus menjadi suaminya. "Aku baik-baik saja."

Pria itu mengangguk dan tak bicara apapun lagi. Semuanya terasa canggung dan hambar tapi tak ada yang berani menunjukkan wajah sedih masing-masing. Mereka harus terlihat bahagia seperti pasangan pengantin pada umumnya.

🌼🌼🌼

Semua ini tak mudah tapi akhirnya bisa berjalan lancar. Acara yang hampir saja hancur berantakkan, kini sudah berakhir dengan suka cita dan kemeriahan tapi bukan untuk Delia atau Zier. Suka cinta dan bahagia hanya untuk orang-orang di sekitarnya.

Setelah acara selesai, kedua keluarga berkumpul. Mereka ingin meminta maaf dan berterima kasih karena Delia dan Zier mau berkorban demi mereka.

"Delia." Lena memeluk putrinya, ia merasa bersalah tapi tak ada pilihan lan. Saat ini tentunya harapannya sama seperti yang lain, ia berharap Delia bahagia bersama Zier meski mereka berdua tidak saling mengenal dengan baik.

"Tidak apa-apa." 

Delia berusaha tegar, ia tak boleh terlihat lemah. Lagipula ini bukanlah sebuah akhir. Banyak hal yang akan ia hadapi yang pastinya jauh lebih sulit lagi nantinya. Salah satunya, ia harus tinggal bersama pria yang tidak ia cintai.

"Kita sudah membelikan rumah untuk kalian." Baron menyerahkan kunci rumah pada Delia sebagai kado pernikahan, "semoga kalian bahagia selalu."

Delia dan Zier hanya tersenyum. Mereka tak yakin, apakah mereka bisa bahagia atau tidak nantinya.

Setelah semua selesai, Zier dan Delia pergi ke rumah baru mereka. Mungkin lebih tepatnya, rumah baru yang harusnya menjadi milik Delia dan Dimas.

"Maaf untuk Kakakku."  Zier tak tahu harus berkata apa, hanya itu yang bisa ia ucapkan saat mereka berada di perjalanan menuju rumah baru.

"Hmm." Delia tak ingin membicarakan apapun tentang Dimas untuk saat ini. Ia ingin menenangkan diri sementara waktu. Ia sangat kecewa dengan sikap Dimas yang kabur begitu saja tanpa penjelasan. Padahal hubungan mereka selama ini baik-baik saja.

Zier tahu, Delia pasti tengah terluka dan kecewa, akhirnya ia kembali diam dan menikmati perjalanan dengan hening. Seperti hidupnya, hening, kosong, tanpa mimpi lagi. Ia tak mungkin bisa pergi jauh mengejar mimpinya saat ada tanggung jawab yang harus ia pikul di sini.

Sesampainya di rumah, Delia langsung turun dari mobil tanpa menunggu Zier membukakan pintu untuknya. Ia ingin cepat-cepat masuk kamar dan beristirahat. Namun, harapannya untuk beristirahat justru berubah menjadi sesak karena melihat kamar tidur yang sangat cantik berhiaskan kelopak bunga mawar merah.

Suasana yang indah dan romantis, lilin- lilin beraroma manis menambah manis ruangan itu tapi sayang, saat ini Delia tak bisa merasakan apapun selain kepedihan yang semakin parah.

"Kamu baik-baik saja?" Zier melihat Delia dari ambang pintu.

"Pergi! aku ingin sendiri." 

Zier mengangguk paham, ia menutup pintunya dan pergi. Ia juga butuh waktu sendiri karena baginya ini juga bukan perkara mudah. Ia harus bisa menerima keadaan yang tak baik-baik saja seperti ini.

🌼🌼🌼
220723

Menikahi Calon Kakak Ipar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang