Bagian 8

319 64 8
                                    

Demi menjaga emosi serta kewarasannya, Zier memilih untuk pergi meninggalkan Delia. Wanita itu terus menguji kesabarannya. Ia tak suka, jika Delia terus-menerus membandingkan dirinya dengan Dimas.

Seharusnya Delia tahu, tidak ada orang yang memiliki kesamaan sifat atau sikap meski itu kembar identik sekalipun. Jadi Zier berharap, cukup jangan sampai terulang lagi. Ia tidak mau terus-menerus dibandingkan.

Zier memilih untuk pergi ke kantor ayahnya. Lagipula kuliah belum mulai, ia masih punya banyak waktu sambil menunggu pengumuman di terima atau tidaknya.

Sesampainya di kantor, Zier menyapa ayahnya yang hendak pergi.

"Apa kamu mau ikut sekalian belajar?" tawar Baron.

"Baiklah."

Tak tahu harus apa dan mau apa, Zier akhirnya setuju. Tanpa banyak tanya, ia mengikuti tanpa tahu kemana tujuan ayahnya.

"Bagaimana kabar Delia?"

Pertanyaan Baron membuat hati Zier kembali panas tapi ia harus bisa menjaga sikapnya supaya tidak memancing kecurigaan ayahnya.

"Dia baik-baik saja." Senyum tipis yang dibuat-buat terpaksa Zier tampilkan untuk menutupi luka di hatinya. Ia hanya berharap, ayahnya tidak menyadari itu.

"Kebetulan hari ini ada kunjungan kerja di kantor Delia bekerja. Sebaiknya sebelum sampai sana, kita mampir dulu ke toko baju untuk menggantikan bajumu supaya lebih resmi."

"Kantor Delia?!" Zier terkejut tanpa dapat ditutup-tutupi.

Baron tersenyum, "kamu tidak perlu terkejut seperti itu. Ayah tahu, pasti akan canggung saat bertemu istri di tempat kerja."

Lagi-lagi Zier hanya bisa menampilkan senyuman yang dibuat-buat. Ia ingin mencari alasan untuk membatalkan niatnya ikut bekerja tapi ia tak punya waktu lagi. Ayahnya memintanya untuk masuk mobil terlebih dahulu begitu mobil tiba.

Zier merasa otaknya yang kusut kembali cerah saat mereka berhenti di toko pakaian pria. Ia akan menggunakan kesempatan ini untuk pergi.

"Dimas!!"

Seruan ayahnya memaksa Zier ikut melihat ke arah yang ditunjukkan oleh ayahnya.

"Ayo cepat kita turun dan kejar dia!" Baron bergegas untuk turun dan Zier mengikutinya.

Rasa takut tiba-tiba muncul begitu saja. Ia tidak bisa membayangkan jika Delia sampai bertemu dengan Dimas. Ia belum siap untuk bercerai secepat ini.

"Dimas!" Baron meraih tangan putra pertamanya yang hampir melarikan diri saat keluar dari toko. "Kamu kemana saja?"

"Ayah." Dimas tergagap. Ia masih tak mengira akan bertemu dengan keluarganya.

"Pulang, Nak. Ibumu sangat khawatir dengan keadaanmu."

"Ayah, maafkan aku." Dimas langsung berlutut di hadapan ayahnya.

"Bangun, Nak." Baron membantu Dimas untuk berdiri. Lalu ia melihat ke arah Zier. "Kamu pergi sendiri tidak apa-apa? Ayah mau ajak Kakakmu pulang. Kamu lanjutkan pekerjaan Ayah. Nanti asisten Ayah akan membimbingmu."

Zier belum menjawab, entah dia setuju atau tidak. Namun, Ayahnya telah pergi mengajak Dimas dan meninggalkan dirinya begitu saja.

Kepedihan, rasa takut dan kecewa beradu di dada dan pikiran Zier. Ia merasakan pedih dengan hubungannya bersama Delia tapi ia juga merasa takut saat mengetahui fakta bahwa Dimas telah kembali dan ia kecewa karena orangtuanya tidak pernah mau mendengarkan jawaban atau persetujuannya terlebih dulu. Mereka mengambil keputusan sendiri yang menurut mereka benar tanpa mendengarkan terlebih dahulu.

Tak ingin berlarut-larut, Zier masuk toko pakaian dan memilih stelan hitam beserta jasnya. Setelah itu ia melanjutkan perjalanan ke kantor Delia bersama asisten pribadi ayahnya dengan sopir dan mobil lain.

Sesampainya di tempat kerja Delia, tak jarang Zier mendapatkan tatapan memuja dari para karyawan wanita.

"Suamimu, bukan?" Greta menarik Delia untuk ikut melihat rombongan pemegang saham.

"Ya ampun, aku meleleh." Maya menggigiti ujung tutup pena miliknya sambil terus melihat ke arah Zier.

Ada rasa bangga dan cemburu saat teman-temannya memuji serta menganggumi Zier. Delia juga mengakui ketampanan Zier tapi ia juga benci dengan Zier.

"Delia, jika kamu akan mencampakkan dia seperti yang kamu bilang tadi pagi. Aku bersedia menerimanya.

Greta berbicara secara terang-terangan. Mengingat tadi pagi Delia mengatakan akan mengajukan surat cerai untuk Zier.

Tadi pagi saat Delia datang, Greta langsung menyeragnya dengan berbagai pertanyaan karena melihat mata Delia yang sembab dan bibirnya sedikit bengkak. Delia bilang, semua karena Zier yang kasar dan dia akan mengajukan cerai.

"Apa kamu gila?! Berani bicara seperti itu di depanku yang jelas-jelas masih istrinya saat ini." Delia tak suka dengan ucapan Greta.

"Aku tahu, saat ini dia masih suamimu. Aku mengatakan saat kamu mencampakkan dia atau lebih tepatnya saat kalian sudah bercerai."

"Tidak. Kamu tidak boleh melakukan itu."

"Memangnya kenapa?" Greta menatap Delia dengan tatapan aneh. Jika Delia tidak memiliki perasaan apapun dengan Zier dan ingin bercerai, kenapa dia harus melarang niatnya.

"Ehm...aku hanya tak ingin kamu mengalami hal yang sama sepertiku. Dia pria kasar, lebih baik kamu mencari pria lain saja." Delia berkilah.

"Aku menyukai pria kasar, bagiku itu sangat menantang." Greta tersenyum. "Aku akan mulai mendekatinya dari sekarang."

"Apa?!"

Delia semakin terkejut dan tak terima, tapi Greta sepertinya bersungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia langsung pergi membawa setumpukan Map yang harusnya menjadi tugasnya, lalu berjalan mengikuti rombongan.

"Aku rasa Greta serius. Jika aku belum memiliki kekasih, mungkin aku akan melakukan hal yang sama sepertinya."

Delia kini beralih menatap Maya, ia berpikir, apa kedua temannya sudah mulai tak waras. Ia sudah jelas-jelas mengatakan sifat buruk Zier tapi mereka seakan tak peduli.

Ya. Zier memiliki banyak kekurangan dan sifat buruk. Delia harus mempertahankan kewarasannya untuk tidak tergoda pada pria itu, seperti teman-temannya. Namun, entah mengapa dalam hatinya ia tak rela jika Zier akhirnya bersama Greta atau wanita lainnya.

Menikahi Calon Kakak Ipar Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang