Lucky melangkahkan kakinya menuju sofa berwarna cokelat gelap di sana. Matanya mengedar dan melihat orang-orang di bawah sana yang sedang menggerakkan tubuhnya. Ia lalu menaruh sebuah amplop berwarna putih dengan corak emas di depan Marshall.
"Kau sudah menentukan tanggal?"
Lucky mengangguk dan menunjuk amplop itu dengan dagunya. "Kau orang pertama yang aku berikan," ucapnya.
"Lalu Aaron?"
Lucky berdecih. "Aku mengirimnya lewat e-mail. Jika sampai ia tidak datang, aku akan membakar naskah dramanya."
Marshall mengangguk dan meminum vodkanya dalam sekali teguk. Lucky melirik Marshall ketika pria itu menelisik undangannya.
"Bagaimana dengan Cavanaugh?"
Gelengan kepala yang Lucky dapat ketika Marshall masih membaca undangannya.
"Kalau begitu...kau sudah mencari makamnya?"
Jemari Marshall berhenti ketika ia ingin menaruh undangan tersebut. Ia melirik Lucky, sang sahabat yang ternyata sedang menelisiknya . Menelisik wajahnya yang terlihat kaku dan bingung.
"Kenapa aku tidak memikirkan itu?" gumam Marshall. Ia mendesah keras dan mengacak rambut hitam legamnya.
"Kau terlalu sibuk dengan kematian Ardelle sampai kau tidak bisa memikirkan yang lain," ucap Lucky.
Ia melihat Marshall segera menghubungi Gibson dan berbicara pada pria itu. Lucky terdiam sejenak. Sebenarnya ia sudah melakukan menyelidiki hal tersebut, namun lebih baik Marshall melakukan sesuatu sendiri agar akal sehatnya kembali. Pria yang sedang menaruh ponselnya itu terlihat mempunyai kantung mata yang hitam. Tentunya selama ini ia selalu menanyakan kondisi Marshall secara terus menerus melalui Gibson.
Kali ini, Marshall lebih hancur. Sangat hancur hingga ia sendiri tidak tahu harus bagaimana lagi.
Pria di depannya ini terasa hampa. Layaknya cangkang kosong yang ditinggal penghuninya.
"Apapun yang terjadi, kau harus menerimanya, Marshall."
Ia akan tetap diam. Marshall lupa jika mereka bisa bertindak di dunia bawah dengan informasi yang lebih akurat.
"Bagaimana dengan Camille?" Marshall menghidupkan rokok setelah menghubungi Gibson. Lupa jika Camille tidak pernah terlihat lagi setelah dua tahun yang lalu.
"Setelah kematian Ardelle, maksudmu? Sama sepertimu. Ia hampir tidak bangun dari kasurnya hampir seminggu. Beberapa kontraknya bahkan hampir hilang," ujar Lucky.
Mengingat kejadian dua tahun lalu menjadi masalah terberatnya dengan Camille. Ia sempat membentak perempuan itu akibat semua kontraknya yang hampir putus dan itu juga menjadi kejadian ketika hubungan mereka diambang jurang.
Lebih tepatnya sekarang sudah terjatuh dan hancur.
Ia dan Camille kandas begitu saja akibat keterpurukan perempuan itu pada sahabatnya.
"Kau dan Camille selesai?" tanya Marshall sembari mengerutkan dahinya.
"Kau baru tahu?"
Banyak hal yang terjadi setelah rumor kematian Ardelle. Dirinya, Camille, dan Marshall. Aaron hanya sedikit terkena dampaknya karena pria itu jarang berbicara dengan Ardelle. Ia dan Aaron memang sedih, namun tidak bisa lebih sedih dari Marshall dan Camille. Maka dari itu, ia dan Aaron berusaha untuk merawat keduanya dengan baik saat di minggu pertama Ardelle dinyatakan meninggal oleh salah satu media.
Saat itu, semua tidak mendengar ucapannya dalam menjaga kesehatan, baik Marshall maupun Camille. Ia biasa membentak Marshall, tetapi membentak Camille merupakan hal yang tidak pernah ia lakukan. Lucky mendesah lelah ketika mengingat kembali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes : Eyes of The Devil
RomanceBOOK 2 - BLUE EYES : EYES OF THE DEVIL Dalam dua tahun Marshall El Blackton berubah menjadi kasar, kejam, dan bengis. Sifat tenangnya berubah setelah kepergian Ardelle dalam hidupnya. Membuat Lucky Stewart, sang sahabat hanya terdiam. Rokok dan alko...