"Jadi, kakek itu tidak mengetahuinya?"
Lucky melihat perban tebal di tangan pria itu. Marshall pasti memukul sesuatu untuk melampiaskan emosinya. Padahal di tangan itu juga kaca sempat melekat di kulit tersebut empat hari yang lalu. "Kau harus mengganti perbanmu, Marshall."
Marshall melirik singkat tangannya lalu membuka perban itu dengan kasar dan membuangnya. Ia menghela nafas kasar. Kepalanya sakit dan ia tidak bisa tidur dengan nyenyak sama sekali.
"Sepertinya mau tidak mau aku harus menyarankanmu untuk meminum obat tidur. Kau selalu menggunakan alkohol sebagai obat tidurmu," ucap Lucky lalu duduk pada sofa tepat di ruang kerja Marshall.
Lucky baru menginjak kakinya di sini sehingga matanya menatap sekeliling dengan penasaran. Mansion milik temannya ini baru saja jadi setahun yang lalu. Namun, Marshall tidak pernah mengundangnya sama sekali. "Aku suka design rumahmu."
"Ardelle yang membuatnya."
Lucky menaikkan alisnya dengan bibir yang membentuk huruf O. "Benarkah? Kalau ia benar-benar hidup , aku akan-Aw!" Ia menatap pulpen jatuh di samping kakinya lalu beralih ke arah Marshall. Tatapan tajamnya membuat Lucky terkekeh.
"Ardelle pasti hidup, Marshall. Aku yakin," ucap Lucky dengan senyum lebar yang dipaksakan.
Marshall hanya terdiam. Pria itu tampak berpikir keras, terlihat dari alisnya yang mengkerut serta wajah kakunya.
"Apa yang kakek itu katakan?" tanya Lucky. Kali ini wajahnya terlihat serius.
"Apa?"
"Ketika kau menanyakan Ardelle, apa jawabannya?"
Ia menyugar rambutnya dan berjalan mendekat ke arah sofa. Marshall mendesah lelah ketika duduk di sana. "Dia berjanji untuk tidak mencarinya, kecuali aku menemukannya duluan," jawab Marshall.
Lucky menaikkan alisnya. "Kau yakin? Jika dia bilang seperti itu, dia hanya tidak bisa mencari Ardelle. Bukan berarti dia tidak tahu di mana Ardelle. Dia tahu, hanya tidak bisa menemuinya," jelas Lucky dengan tenang.
"Ya, aku tahu bagian itu. Aku hanya bingung kenapa Ardelle melakukan ini."
"Kau harus menemukannya terlebih dahulu, maka kau akan tahu jawabannya."
Suara pintu terbuka dengan keras membuat mereka berdiri dengan cepat. Marshall sudah mengambil pistol dipinggangnya, sedangkan Lucky mengambil pisaunya.
"Kenapa kalian tegang seperti itu?"
"Son of a bitch!" bentak Lucky ketika Aaron berdiri di ambang pintu.
"Hei, hei. Language, Mr. Stewart," ucap Aaron dengan tegas.
***
"Kau menemukan sesuatu?"
Marshall terus menerus menghela nafas ketika Gibson memberikannya puluhan berkas rumah sakit di Australia, namun jejak perempuan tersebut sama sekali tidak terekam di mana pun. Ia melirik ke arah Gibson setelah itu.
Gibson mengangguk dan mengirim berkas itu ke arah komputer canggih Marshall. Berkas yang langsung terbuka itu membuat mata Marshall menyipit. Angka demi angka tertera jelas di layarnya, membuat netra biru dan otaknya segera menganalisis dokumen tersebut.
"Fred Cavanaugh mengirim uang dalam jumlah besar ke rekening ini setiap dua bulan sekali. Tentunya saya sudah menyeleksi semuanya dan hanya rekening ini yang sangat meragukan. Rekening ini atas nama-"
Suara pintu terbuka membuat Gibson segera menutup mulutnya.
"Aku sudah memberimu waktu semenit sesuai janji, Gibson."
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes : Eyes of The Devil
RomansaBOOK 2 - BLUE EYES : EYES OF THE DEVIL Dalam dua tahun Marshall El Blackton berubah menjadi kasar, kejam, dan bengis. Sifat tenangnya berubah setelah kepergian Ardelle dalam hidupnya. Membuat Lucky Stewart, sang sahabat hanya terdiam. Rokok dan alko...