07 - Flair

114 11 0
                                    

Melihat Marshall dari jauh adalah kesehariannya yang sangat ia sukai. Bahkan saat ia diam-diam menaruh cokelat di tempat duduk Marshall atau memberikannya air saat pria itu bermain basket. Pria bernama Marshall El Blackton sangat terlihat sempurna di matanya. Bak pangeran di negeri dongeng, Marshall seperti pangeran.

Seribu usaha ia lakukan. Dari giatnya ia bermain piano hingga mimisan, merawat dirinya sebaik mungkin, bertingkah lembut, sampai ia berhasil menggaet hati Kakek Marshall hingga ia diberi cap sebagai menantu yang diinginkan olehnya.

Sayangnya, Marshall tidak menginginkannya.

Marshall tidak pernah menolehnya.

Setelah semua yang ia lakukan demi pria itu, Marshall tidak mau mendengarkan betapa ia sangat mencintainya. Marshall menjauh dan semakin jauh. Flair tidak bisa menangkapnya lagi setelah Marshall bertemu dengan Ardelle.

Perempuan yang Camille kenalkan pada dirinya itu menjadi sebuah pertemanan yang sangat menyenangkan saat mereka selalu berpergian bersama-sama. Pendiamnya Ardelle dan keributan Camille saat itu menjadi tawanya di saat ibunya menekan ia untuk mendapatkan Marshall.

Mereka berdua adalah obat baginya saat itu. Namun saat ia mengetahui Ardelle dan Marshall, membuat emosinya memuncak tinggi. Di saat ia harus berusaha keras agar Marshall menoleh, Ardelle tidak melakukan apapun.

Flair membencinya.

Ia semakin membenci Ardelle di saat mata Marshall menatapnya begitu aneh. Tatapan itu sama dengan yang ia selalu layangkan pada pria itu. Marshall jatuh dengan mudahnya pada Ardelle. Tapi kenapa tidak dengannya?

"Apa yang kau sedang pikirkan?"

Flair menaikkan jemarinya dari tuts piano. "Tidak ada."

"Aku sudah melihatmu menekan tuts itu selama lima menit."

"Sejak kapan kau sering kemari?" tanya Flair dan melihat Giovanne menggulung lengan kemejanya.

"Sejak kau menyuruhku untuk menghabisi si Cavanaugh."

Flair mendengus. "Lalu sudah kau lakukan?"

Giovanne mengangguk. "Aku sempat menculiknya."

"Sempat?"

Tangan Giovanne mengambil jus dari nampan yang pelayan bawakan. Pria itu menegaknya sebelum menjawab pertanyaan Flair. "Setelah itu ia kabur," jawabnya singkat.

Flair menaikkan alisnya dan menatap Giovanne dengan lekat. Membiarkan mangsanya kabur bukan seperti Giovanne. "Apa kau sedang bermain-main?" tanyanya.

Giovanne terkekeh. "Kau tahu, ia pintar," ucapnya sembari mengetuk pelipisnya dengan senyum miring.

"Bagian mana perempuan itu pintar?" tanya Flair semakin tidak sabar.

"Yang jelas tidak ada pada dirimu."

Ucapan itu berhasil menohok dirinya. Tetapi Flair tetap diam di atas kursi piano dan membiarkan Giovanne melangkah pergi dari ruangan khusus untuknya.

"Menjijikkan," desis Flair dan kembali bermain.

Giovanne tiba-tiba menengok dari daun pintu. "Kau sudah tahu kalau Cavanaugh sudah ada di tangan priamu itu?"

***

"Bye!" Camille tersenyum manis ke arah fotografer lalu melangkah pergi.

Kaki jenjangnya yang mulus bergerak pasti ke arah mobil miliknya yang berwarna abu-abu itu. Ia segera memelankan langkahnya ketika ia tidak menemukan kunci di sela-sela isi tasnya.

Blue Eyes : Eyes of The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang