04 - Cannavah

258 20 3
                                    

"Ada sesuatu."

Lucky menoleh pada Marshall yang sedang berjalan menuju meja kerjanya. Pria itu baru saja datang dari Berlin dan tiba-tiba menghubunginya.

"Dengan Ardelle?" tanya Lucky.

Marshall mengangguk, namun terdiam. Ia masih mencoba untuk mengerti raut wajah Ardelle di benaknya.

"Raut wajahnya..."

"Apa?" tanya Lucky lagi ketika pria itu terdiam.

"Mengingatku pada saat ia membeli pistol padamu."

Lucky mengernyit. Walaupun begitu ia tetap mengecek ponselnya ketika dering singkat itu terdengar. Marshall meliriknya.

"Kau masih mengawasinya?" tanyanya.

"Always."

Marshall baru tahu jika Lucky bisa mencintai se-dalam ini. Karena seumur hidupnya ia melihat pria itu selalu menebar senyuman layaknya pria hidung belang. Bahkan ia sendiri hampir merasa jijik ketika melihat Lucky tersenyum.

"Culik saja dia," ucap Lucky tiba-tiba.

"Apa?" Marshall hampir mengernyit, menatap Lucky dengan tatapan aneh.

Lucky menaruh ponselnya. "Culik Ardelle."

Marshall mendengus sebal. "Ardelle punya pawang yang cukup membuatku kesal."

"Dan kau tidak akan mungkin kalah dengannya, Marshall."

Matanya menatap langit di kaca besar pada ruangannya.

"Memang, tapi Ardelle tidak akan menyukainya."

Melihat Ardelle berdiri di depannya saat itu, hidup dan bernafas, sudah membuat ribuan jarum yang tertancap di jantungnya terlepas begitu saja. Seperti perempuan itu menyihirnya.

Marshall mengerutkan dahinya, menatap Lucky dengan pandangan serius. Sedangkan pria itu menaikkan alisnya.

"Apa culik saja?"

***

BERLIN

Ada banyak hal yang tertelan saat Ardelle menatap Marshall yang sedang duduk saat itu. Pria itu terlihat kurus dan membuatnya sedikit takut jika pria itu akan sekurus tulang kering. Padahal sebenarnya otot tersebut memenuhi lengan dan badannya membuat Marshall tampak besar. Yang Ardelle maksud adalah wajahnya sangat tirus.

"Seharusnya dia makan yang banyak," gumam Ardelle sembari membalikkan majalah.

"Apa?"

Ardelle menoleh ke arah Damian. Seketika ia lupa jika Damian berada di sini. Ia tersenyum tipis.

"Oh, menurutku model ini sangat kurus," jawabnya sembari menunjukkan seorang model yang sedang berpose di majalah tersebut.

"Sudah minum obat?"

Ardelle mengangguk dan kembali membalikkan majalah yang berada di pangkuannya.

"Lalu kapan kau akan balik? Peach terus mengomel sampai telingaku panas," ucap Damian dengan telunjuk yang sedang mengelus telinganya.

"Beberapa hari lagi. Padahal aku baru menemuinya di rumah sakit waktu itu."

Beberapa hari yang lalu, adik Damian, Elle, yang diam bersama dirinya baru saja balik ke New York. Ia tinggal bersama Elle selama di Berlin, alias ia menghabiskan waktunya lebih banyak di rumah sakit untuknya. Persamaan namanya dengan Elle membuat Damian terkadang memanggilnya dengan sebutan Anne.

Ardelle mendongak saat merasakan seseorang di sampingnya.

"Bagaimana dengan Marshall?" tanya Damian. Dasinya terlihat sudah tidak rapi dengan kancing atasnya yang sudah lepas dari kaitannya.

Blue Eyes : Eyes of The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang