Marshall menatap sayu ke arah ranjang sembari mengeluarkan asap dari mulutnya. Pintu balkon itu terbuka dengan punggung Marshall yang bersandar pada besi pembatas, menghadap ke dalam kamar. Tiga kancing kemejanya sudah lepas dengan lengan yang di gulung. Tangan kirinya naik untuk mempertemukan bibirnya pada bibir gelas, menyesap vodka di siang hari.
"Don't fucking stare me, Marshall."
Salah satu alisnya naik saat Ardelle mengumpatnya. Ia tersenyum miring ketika melihat perempuan itu sedang melihat ibu jari kakinya yang terluka.
"I...nearly fucking Flair?" tanya Marshall. Ia menaikkan alisnya, tertawa sinis.
Ardelle terdiam sejenak sebelum menatap Marshall. "Oh, kau mengingatnya?" tanyanya mengejek.
"CCTV," ucap Marshall singkat lalu menggeleng pelan. Ia memasukkan rokoknya ke dalam gelas dan menaruhnya di atas meja.
"Are you mad?" tanya Marshall lagi.
"Kau pikir?"
Marshall memiringkan kepalanya. "Help me then."
"Apa?"
"Menghapus jejak Flair. Bukankah keahlianmu adalah menghapus jejak?"
Ardelle tertawa sinis. Ia beranjak dan berjalan ke arah Marshall. Ketika Ardelle semakin mendekat, Marshall segera menarik tangannya hingga tubuh itu jatuh di atas pangkuannya. Telapak tangannya menggerakkan kedua kaki itu untuk memeluk pinggangnya. Setelah itu jemarinya menangkup pinggang Ardelle, menahannya agar tidak bergerak.
"Kau suka sekali kabur, Ardelle," bisik Marshall. Ia memindai bagaimana wajah itu bereaksi.
Mata birunya menatap nyalang pria di depannya. Ia mendorong dada Marshall, namun sial, tubuh padat itu sama sekali tidak bergerak.
"Sekalipun kau di ujung dunia, aku akan tetap menyeretmu untuk balik ke sisiku."
Suara rendahnya membuat Ardelle terdiam. Mereka bahkan sudah dekat, tetapi Marshall tetap menipiskan jaraknya. Ardelle bisa merasakan bibirnya, walaupun sebenarnya belum tersentuh.
"Dua tahun sudah cukup untuk mengujiku. Aku sudah tidak punya kata sabar sekarang dan mengejarmu...adalah hal mudah. Aku akan mengerahkan seluruh kekuatanku untuk menemukanmu. Bahkan jika harus membunuh semua keluarga Cavanaugh, akan.aku.lakukan. Vi, kau mengerti?"
Ardelle sedikit bergetar ketika Marshall berbicara tepat di depan bibirnya. Ia terdiam bagaikan patung di hadapan Marshall. Pria itu menyingkirkan tangannya yang sudah tidak bertenaga dari dadanya. Ia menggapai leher Ardelle, menarik dan mencium leher itu sekilas sebelum menurunkan dagunya untuk melumat bibir yang terdiam itu.
Marshall masih menatap Ardelle ketika lidahnya menjilat, membuat dahi di depannya mengerut. Bibirnya beralih untuk mencium pipi Ardelle dan memeluknya dengan kuat.
"I'm sorry."
Permintaan maaf itu membuat Ardelle menelusupkan wajahnya di dada Marshall. Detak jantung yang menggila itu kembali membuat Ardelle terdiam. Pria ini. Mengerikan.
"Tetapi aku tidak main-main dengan ucapanku."
Semenjak itu, Ardelle lebih sering merenung. Memikirkan apa dua tahun tersebut ia membuat keputusan yang salah untuk Marshall. Membuat pria itu seperti memiliki—obsesi—padanya.
Atau karena rumor ia meninggal sehingga Marshall menjadi seperti ini?
Ardelle menepuk kepalanya dengan keras. Tentu saja benar. Keluarganya bahkan juga mendorong jauh Blackton begitu saja. Mungkin itu yang membuatnya seperti—
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes : Eyes of The Devil
RomansaBOOK 2 - BLUE EYES : EYES OF THE DEVIL Dalam dua tahun Marshall El Blackton berubah menjadi kasar, kejam, dan bengis. Sifat tenangnya berubah setelah kepergian Ardelle dalam hidupnya. Membuat Lucky Stewart, sang sahabat hanya terdiam. Rokok dan alko...