09 - Bratty Attitude

113 11 0
                                    

"Sebenarnya ada apa denganmu?" desah Ardelle ketika ia sudah terlalu lelah.

Marshall menghembuskan asap itu dari mulutnya. Ia menatap Ardelle dari bawah hingga atas. Perempuan itu sudah jelas tidak bersiap-siap dengan baik, terbukti bahwa ia hanya memakai pakaian seadanya. Matanya lalu tertutup sejenak ketika kilasan saat Giovanne mencium Ardelle. Marshall berdecak kesal. Itu sebabnya ia tidak pulang untuk melihat Ardelle.

Karena ia takut kecemburuannya akan memakan Ardelle.

"Aku tidak ingin bertengkar denganmu, Vi."

Intonasi suaranya terdengar lebih lembut dan Ardelle tertegun ketika Marshall memanggilnya seperti itu.

"Kenapa kau mencariku? Kau seharusnya tidak boleh di sini," tanya Marshall. Ia mengusap rambutnya.

"Ah, jadi aku dilarang di sini?" tanyanya sinis.

"Maksudku...hal sepenting apa sampai kau mengancam Lucky?" Marshall mengetuk rokoknya di atas asbak.

"Tidak ada," jawab Ardelle singkat, membuat Marshall mengangguk.

"Kalau begitu apa yang kau pakai agar Lucky berbicara?"

"Dengan melihat mayatku besok."

Marshall membuang rokoknya dengan kasar dan menyambar bahu Ardelle menggunakan kedua tangannya. "Katakan lagi sekali."

Ardelle mengerjap ketika Marshall menatapnya dengan tajam. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti hingga Ardelle sangat merasakan aura yang membuat badannya sedikit bergetar.

"One more time, Ardelle. With what?"

"D-dengan melihat..." Ardelle berhenti berbicara, merasa ucapannya tidak perlu dilanjutkan.

"Benarkah?" Marshall menegakkan badannya. Ia menusuk Ardelle dengan intonasi dan matanya sembari kedua tangan masuk ke dalam saku celana. Ia mengepalkan jemarinya. "Lalu aku akan mengumpulkan tulangmu dan memajangnya."

"Itu tidak lucu," sahut Ardelle, hampir tertawa.

"Apa aku sedang melucu?" Marshall kembali mengambil kotak rokoknya sembari menatap Ardelle dengan datar.

Ardelle memegang kepalanya. Ia merasa cukup stres menghadapi Marshall yang seperti ini. Pria itu sedang membalas dendam. Kedua tangannya terangkat dan Ardelle segera berjalan keluar.

Lucky segera menghampiri Ardelle yang tiba-tiba sudah keluar dari lift. "Sudah selesai?"

Ardelle menghiraukan pertanyaan Lucky dan segera keluar dari bangunan itu. Ia merogoh kunci mobil dan membuka pintu itu. Sampai ketika ia merasa lengannya digenggam kuat hingga memaksanya untuk membalikkan badan.

"MAR—"

Ardelle menghentikan teriakannya ketika Giovanne berada di depannya. Mengurung dirinya dengan dua tangan di sisi tubuhnya serta senyuman nakal, seolah ia mendapatkan ikan besar. "I got you," bisiknya.

"Lepas," ucap Ardelle singkat.

Giovanne mengerutkan dahinya dan terkekeh. "No, darling. Sudah cukup aku melepasmu di lift tadi," jawab Giovanne. Badannya semakin mendekat.

Kepalan di tangan Ardelle segera ia pakai untuk menahan tubuh pria itu. "Bagaimana kau tahu?" Ardelle mencoba mendorong Giovanne, namun tubuh itu hanya bergerak sedikit.

"Aku suka bau tubuhmu."

Ardelle mendelik tajam. "Aku bisa saja melaporkanmu atas pelecahan," ancam Ardelle.

Giovanne bergumam panjang, "...dan aku bisa saja menciummu sekarang. Benar, Blackton?" Kepala itu menoleh ke arah tubuh yang sudah menjulang di belakang punggungnya. Kemudian ia melirik pisau yang sudah berada di samping perutnya.

Blue Eyes : Eyes of The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang