Ardelle berjalan menuju basement area untuk mengambil mobilnya. Lagipula percuma ia berdiri lama di pesta tersebut sedangkan ia tidak bisa berbuat apa dengan Flair. Ia berhenti berjalan ketika ia melihat seseorang duduk di atas mobilnya, lebih tepatnya di atap. Ardelle menatap lelaki bernama Giovanne itu tajam sembari ia menjatuhkan gaunnya yang ia sedikit angkat.
"Kau bisa membuat atap mobilku runtuh," sarkas Ardelle.
"Berarti kau mengatakan kalau mobilmu ini adalah rongsokan? Bahkan rongso—"
"Itu sarkasme, you dumb."
Giovanne menundukkan kepalanya untuk tertawa. Bahkan setelah Ardelle diculik, perempuan itu sama sekali tidak takut padanya. Bukankah ini sangat menarik?!
"Aku menyukaimu."
"Aku tidak," jawab Ardelle cepat. Ia kembali mengangkat gaunnya dan kembali ke arah pesta. Setelah ini ia akan menandai kalendernya bahwa ini adalah hari terburuk. Giovanne melompat dengan mudah dan dengan langkah lebarnya ia segera menarik Ardelle. Ia menangkup wajah mungil itu dan mencium bibirnya dengan intens. Ardelle memukul dada Giovanne hingga mencoba melepas tangan yang menangkup wajahnya.
Sebelum kaki Ardelle melayang untuk menendang, Giovanne menjauh dari bibir Ardelle. "Sudah aku bilang, aku menyukaimu—"
Giovanne terdiam. Ia melepas rengkuhannya pada tubuh Ardelle, mengangkat tangan, dan berbalik pelan. Matanya mendapati tubuh padat yang sedang menodongkan pistol ke kepalanya.
"Hm, aku menyukaimu juga," jawab Marshall dengan datar.
Kedua tangan itu terangkat sembari bibirnya yang tersenyum lebar. "You got me," kekehnya. "Apakah ada senjata baru yang bisa aku beli?"
Marshall masih menatap Giovanne dengan lekat. Seolah memberitahu jika ia sangat ingin membunuh pria itu sekarang juga. Apalagi melihat bibir yang menyentuh Ardelle, Marshall ingin mencincang dan memberikannya pada buaya.
"Dengar Marxy, aku tidak peduli kau adalah pengedar nomor satu atau terakhir. Kau menyentuh milikku dan kau punya dua pilihan, pergi dari sini atau aku akan menghabiskan seluruh peluruku di bibirmu," ancam Marshall.
Mendengar suara Marshall yang tajam dan rendah, membuar Ardelle mengusap telapak tangan dengan jari-jarinya.
"Baiklah, aku pergi sekarang. Lagipula aku sudah mencicipinya sedikit," ucap Giovanne sembari mengusap bibirnya sensual. Ia pergi dengan santai dengan wajah senang. Ardelle menahan nafas ketika Giovanne sudah hilang dari pandangan. Sekarang hanya ada dirinya dan Marshall yang menatapnya tajam.
"Ardelle."
Perempuan itu menoleh ke arah Marshall dengan horor.
"Lick your lips."
"Apa?" tanyanya bingung.
Marshall menggerakkan netranya, menatap bibir Ardelle yang kaku. "Do it."
Ardelle mengerjap dengan bingung. Namun setelah itu ia mengeluarkan lidah untuk menjilat bibirnya dengan kaku. Saat itu juga, Marshall menarik leher Ardelle dan menciumnya. Tangan Ardelle meremas jas Marshall dengan erat. Kata yang tepat untuk mereka saat ini adalah gila.
Atau ia sendiri yang gila.
Karena Marshall El Blackton sedang memainkan lidahnya dengan lihai.
***
"Kau bisa menendangnya. Kau tahu itu, bukan?"
Ardelle mengerutkan dahi ketika Marshall tiba-tiba membuka pembicaraan dengan sinis.
"Apa bibirmu sekarang hilang setelah aku menciummu?"
"Apa kau sedang ingin berkelahi?" tanya Ardelle. Ia memiringkan tubuhnya untuk melihat Marshall yang sedang menyetir.
KAMU SEDANG MEMBACA
Blue Eyes : Eyes of The Devil
RomanceBOOK 2 - BLUE EYES : EYES OF THE DEVIL Dalam dua tahun Marshall El Blackton berubah menjadi kasar, kejam, dan bengis. Sifat tenangnya berubah setelah kepergian Ardelle dalam hidupnya. Membuat Lucky Stewart, sang sahabat hanya terdiam. Rokok dan alko...