10. Kidnapping The Princess

137 15 0
                                    

"Aku bilang musnahkan dia. Apa kau tuli?!"

"Memangnya kau bosku?" Giovanne melirik Flair yang berada di samping pianonya, sedangkan ia menyandarkan bahunya di daun pintu.

Flair berdecak keras. "Jangan bilang kau menyukainya?"

Giovanne mengetuk dagunya, menyeringai. "Well, sebenarnya aku tertarik," ucapnya.

Sejenak Flair terdiam, berpikir keras apa bagusnya Ardelle hingga kakaknya sendiri juga tertarik. "Apa yang membuatmu tertarik?"

Bibirnya tersenyum miring. "Iri?"

Flair terdiam lagi. Jika bisa ia ingin menghancurkan piano di sampingnya, meremuknya agar amarahnya mereda. Tetapi kakinya segera melangkah pergi dari ruangan, meninggalkan Giovanne yang terkekeh kecil. Pria itu sedang mengejeknya.

"Sebentar lagi resitalmu, Flair. Kau harus fokus dengan itu."

Flair menoleh. Entah mengapa ibunya selalu muncul di saat suasana hatinya tidak bagus. Ia mendengus dan kembali melanjutkan langkah ke dalam kamarnya.

"Kau harusnya lebih baik lagi dengan adikmu."

Giovanne terkekeh lagi mendengar ucapan ibunya.

"Kau terlalu memanjakannya." Giovanne memutar kunci mobil yang ada di telunjuknya dan meninggalkan ibunya yang sedang menghela nafas.

***

Ardelle menatap pembangunan dinding di Mansion utama Cavanaugh. Ia baru saja turun dari taxi, namun pemandangan asing ini membuat ia berhenti.

"Miss."

"Apa aku melewatkan sesuatu?" tanya Ardelle sembari menunjuk dinding tersebut pada Austin.

Austin berdeham. "Mr. Blackton mengetahui kejanggalan bahwa anda tidak meninggal dan menyerang Mansion utama," ucapnya. "Membakarnya," lanjut Austin, berdeham lagi.

"Berapa banyak orang terluka?" tanya Ardelle lagi dan menaiki buggy tersebut.

"Puluhan pengawal kita terluka, setengah tertembak dan babak belur. Namun, Mr. Blackton tidak menembak mereka di area vital jadi tidak ada yang meninggal, Miss."

"Hm," gumamnya. "Tagihkan semua kerugian pada Marshall."

Austin menoleh sembari mengendarai buggy tersebut dengan pelan. "Miss, jika anda lupa, Cavanaugh tidak kekurangan uang...," ucap Austin dengan pelan.

Ardelle mengerutkan dahi dan menatap Austin dengan aneh. "Tentu saja tidak. Tagihkan saja. Sudah seharusnya ia ganti rugi."

Kepala itu mengangguk. "Mr. Fred dan Shane sudah menunggu anda."

Baru saja kaki Ardelle menyentuh lantai, Fred datang dengan tongkatnya. Ia diikuti oleh Shane yang tatapannya tertuju penuh pada Ardelle.

"Kau tidak kasihan pada kakek tua ini?!" bentak Fred dengan gemas. Ia meraih Ardelle dan memeluk cucunya dengan sayang. "Bagaimana dua tahunmu?"

"Alive."

Fred tertawa tipis. "Sampai sekarang aku tidak mengerti kenapa kau mau sengsara sendiri selama dua tahun. Bahkan Damian juga sempat kau blacklist saat itu."

Itu juga yang membuat ia membiarkan media berspekulasi sendiri tentang kehidupannya. Saat penyakitnya yang parah itu, Ardelle memilih keputusan yang sangat membuat orang frustasi pada pilihannya.

"Karena aku malas melihat mata kalian yang selalu berkata jika aku tidak boleh mati."

Dalam dua tahun tersebut, Ardelle memilih untuk melakukan semuanya sendiri, termasuk bertahan. Ia tidak membiarkan Angkasa mengijinkan siapapun untuk menemuinya. Hanya Damian sesekali menerobos langsung dan selalu membuat keributan. Hal itu juga yang membuat Ardelle meninggalkan Marshall sepihak.

Blue Eyes : Eyes of The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang