***
Setelah mengatakan hal itu dengan penuh keyakinan, lelaki di hadapanku menjauhkan wajah, tetapi tangannya masih setia menggenggam tanganku.
"Tanpa sadar, kau telah mampu bersikap biasa meski kita sedang melakukan kontak fisik," ujarnya memberi tahu.
Aku sedikit tercengang dan mengamati tanganku yang berada di genggamannya. Benar, kami sedang melakukan kontak fisik saat ini, tapi tidak terlintas bayangan pembullyan di dalam pikiran. "Kau benar, tidak seperti kemarin," tanggapku setuju.
"Ya, kemarin kau terlihat sangat ketakutan ketika kita aku memegang tanganmu." ujarnya seraya melepas genggaman.
Aku mengamati tanganku. Masih terasa sentuhan dan hangatnya tangan besar lelaki bersurai putih itu. "Kemarin kau tiba-tiba mencengkeram pergelangan tanganku dengan kasar, sedangkan sekarang tidak. Mungkin itu sebabnya aku tidak ketakutan," terkaku. Ya, aku yakin dengan ucapanku.
"Kau benar. Lalu bagaimana dengan pelukan yang kau berikan saat kita menaiki sepeda?" tanyanya.
Wajahku tiba-tiba terasa panas mendengarnya. Aku yakin jika wajahku tengah memerah sekarang. Oh, Tuhan, semoga saja warna merah ini tidak tertangkap olehnya. Meski begitu, aku harus memperbaiki kata-katanya. "I-Itu bukan pelukan. Kau menyuruhku untuk berpegangan, j-jadi aku memegang tubuhmu." sangkalku sambil menunduk.
"Kau bodoh, ya? Aku menyuruhmu untuk berpegangan padaku, bukan melingkarkan tangan," balasnya. "Melingkarkan tangan sama saja dengan pelukan," imbuhnya.
Yang dikatakannya 100% benar. Apa yang kupikirkan? Seharusnya cukup dengan memegang pinggang kanannya saja, bukannya melingkarkan tangan.
Aku menyebutnya mencuri kesempatan, tapi dirikulah yang terlihat mencuri kesempatan karena hal itu. Bagaimana reaksi orang-orang yang telah melihat kami? Mereka pasti akan berpikir jika diriku murahan.
Aku menutup wajah dengan menggunakan kedua tangan. Berusaha agar rona di sana tidak terlihat sekaligus malu dilihat olehnya. "Tolong jangan melihatku," pintaku dengan sangat.
"Hm?"
"Aku minta maaf atas kebodohanku... aku benar-benar minta maaf jika telah kurang ajar karena memelukmu," lirihku malu terhadap diri sendiri.
"Tidak masalah, itu adalah langkah yang bagus."
"Kenapa?" tanyaku.
"Kau tidak takut untuk menyentuhku," jawabnya. "Apa yang kau pikirkan ketika melakukan itu?" tanyanya.
Aku menjauhkan tangan yang tadi berada di wajah. Sepertinya rona merah di pipiku sudah mulai menghilang. "Aku berusaha sekuat mungkin agar bayangan buruk itu tidak terlintas." jawabku sambil mengingat.
"Cukup bagus," balasnya. "Akan kutarik kesimpulan. Jika kau yang melakukan kontak fisik terlebih dahulu, kemungkinan besar bayangan pembullyan yang kau alami tidak akan terlintas. Tapi jika aku yang melakukannya terlebih dahulu, bayangan itu akan terlintas apabila sentuhanku terasa kasar bagimu," simpulnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝗛𝗘𝗔𝗟𝗘𝗥 || 𝐍𝐚𝐠𝐢 𝐒𝐞𝐢𝐬𝐡𝐢𝐫𝐨
RomanceBerbicara tentang sempurna, tidak ada yang sempurna di dalam hidupku. Luka yang kudapat dari keluarga, pembullyan, dan pelecehan membuat mentalku kacau berantakan. Setelah orang tuaku bercerai, aku dan ibuku pindah ke sebuah apartemen sehingga membu...