1. Reunion

486 60 30
                                    

Naruto berjalan cepat sembari menenteng high heels-nya di tangan kanan. Sementara itu, tangannya yang lain menarik sedikit ujung gaunnya agar bisa bergerak lebih leluasa.

"Pelan-pelan, Na—" Sosok yang cukup jauh di belakang Naruto berseru tertahan. Ia buru-buru mengejar wanita itu, menyusul langkah wanitanya yang sudah melesat terlebih dulu untuk mengejar lift.

"Santai," katanya, berusaha menenangkan Naruto yang napasnya terengah-engah. Decakan kesal wanitanya itu cukup keras manakala pintu lift yang dikejarnya itu keburu menutup otomatis. "Kita tidak ter—"

"Sangat terlambat!" sergah Naruto tiba-tiba, hingga pria yang berdiri di sisinya itu terperanjat, begitupun dengan beberapa tamu yang hilir mudik di lobi hotel.

Naruto mengerang, tak sabaran ia menunggu lift di hadapannya terbuka. Selain itu, ia sedikit menyesal sudah membentak pria yang masih dengan sabar menenangkannya dengan menepuk-nepuk punggungnya dengan lembut.

Benar, keterlambatannya ini bukan salah pria itu. Semua ini murni karena keterlambatan penerbangan akibat cuaca buruk. Jika saja tak ada delay sialan itu, sudah pasti Naruto tiba di Konoha sejak pagi buta. Dan dirinya akan punya waktu beberapa jam untuk istirahat sebentar, bersiap-siap, lalu menghadiri upacara pemberkatan di gereja.

Salahkan juga pekerjaan-pekerjaan itu. Mereka semualah yang memaksanya untuk terus bekerja, bahkan di akhir pekan sekalipun. Jika bukan karena itu, dirinya pasti tak akan berangkat di H-1 acara.

Sebaiknya, ia juga harus menarik kembali kata-kata kesalnya pada sosok yang kini tersenyum padanya itu. Keputusannya untuk menyewa jet pribadi tanpa sepengetahuan dirinya ternyata cukup menguntungkan. Ia jadi bisa memanfaatkan waktu-waktu yang tersisa untuk bersiap di pesawat.

"Terima kasih, Itachi." Naruto menggumam. Cukup lirih, tapi masih bisa ditangkap dengan baik oleh si empunya nama. "Maaf karena sempat marah padamu."

"Kau tahu? Aku sudah terbiasa dengan itu." Tawa jenaka lepas dari bibir tipis Itachi. Pria itu lalu tersenyum hingga kedua matanya menyipit. "Daya tarikmu memang di situ."

Itachi menahan tawanya, tapi gagal. Semua itu terdengar menyebalkan di telinga Naruto karena ia tahu jika itu hanyalah ledekan. Merasa tak tahan, ia lantas mencubit lengan Itachi keras-keras hingga pria itu mengaduh kesakitan, kali ini sama sekali tak dibuat-buat.

"Tak bisakah kau menghabiskan sehari saja tanpa mencubit atau memukulku? Apa kau begitu mencintaiku?" Alih-alih kesal, Itachi justru semakin menggoda Naruto agar wanita itu menjadi lebih kesal lagi. Ia lalu tergelak, tak begitu lama karena matanya tak sengaja mengerling pada high heels yang dibawa Naruto sejak turun dari mobil yang mereka tumpangi sejak di bandara. Matanya lalu bergulir pada kaki Naruto yang telanjang.

"Kapanpun kau merasa sakit, katakan padaku."

Naruto menoleh ke samping, menatap Itachi yang juga menatapnya lekat-lekat. Tak ada lagi kilat gurauan di matanya. Ada getaran cemas yang terselip dalam nada bicaranya yang tenang itu.

Tepat saat Naruto mengangguk, lift di hadapan keduanya berdentung ringan, lalu terbuka. Keduanya lantas masuk dan menekan angka 27, lantai di mana ballroom berada.

Memanfaatkan kosongnya lift, Naruto berinisiatif memakai high heels yang dibawanya. Ia membungkuk, sedikit kesulitan sebenarnya. Namun, dengan sigap, Itachi mengulurkan lengannya.

"Jika kau tak keberatan," katanya.

Naruto lekas menyambutnya dengan baik dan kembali melanjutkan aktivitasnya. Selang beberapa lama, pintu lift terbuka. Keduanya berjalan ke luar berdampingan, masih dengan tangan Naruto yang berpegangan pada lengan Itachi.

September: When I First Met You ... Again [Book-2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang