6. Eunoia

224 37 29
                                    

Itachi tersentak bangun dari tidurnya dan spontan melihat pada jam dinding di seberang tempat tidur, pukul enam tepat. Aneh rasanya mendapati dirinya masih bisa bangun seawal ini, bahkan setelah begadang dan minum-minum sampai menjelang pagi.

Bagaimana tidak, tidurnya tak bisa dikatakan nyenyak. Bahkan, minuman seampuh alkohol tak bisa membuatnya damai dan terlelap. Dirinya terlalu gelisah, karena Naruto tentu saja.

Segera, diraihnya segelas air putih di nakas dan diminumnya hingga tandas. Itachi mengela napas berat sebelum berjalan cepat ke arah kamar mandi, berniat membersihkan diri dan menghilangkan aroma alakohol dari tubuhnya.

"Selamat pagi, Bibi, " sapa Itachi pada Mikoto yang membelakangi konter dapur dan mencuci sayuran di wastafel, lalu mendaratkan ciuman singkat di pelipisnya, persis seperti yang sering dilakukannya kepada sang ibu di rumah.

"Sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan sapaan manis ala Eropa." Mikoto menimpali dengan tawa kecilnya. Kedua tangan yang sebelumnya telah dilap dengan handuk kecil itu lantas menangkup Itachi gemas. Lamat-lamat, dipindainya penampilan keponakannya itu dari ujung kepala hingga kaki. Pandangannya kembali naik dan berhenti tepat di mata jelaga khas milik keluarga mereka itu. "Kau sudah mau pergi? Sepagi ini?"

Mendengar kalimat itu, Itachi menarik senyum simpulnya. Sedikitnya, ia cukup terkejut saat Mikoto bisa mengetahui niatnya hanya dalam sekali lihat. "Aku mengkhawatirkan kekasihku, Bibi."

Mikoto mengerling ke kanan kirinya, di mana beberapa pelayan, juga Lee saat ini juga sedang membantunya mempersiapkan sarapan. Karenanya, ia membawa Itachi menjauh dari mereka semua, dan mendudukkannya di sofa panjang di ruang tengah.

"Bagaimana keadaannya?" tanya Mikoto saat mereka hanya tinggal berdua.

Itachi membuang napas berat. Bagaimanapun, pertanyaan itu juga selalu mengusiknya selama beberapa hari ini. "Baik-baik saja ... kuharap."

Senyum simpul terluas di bibir Itachi saat Mikoto mengerutkan dahi, kentara sekali tak mengerti dengan maksud perkataannya. Sejujurnya, dirinya sendiri pun bingung harus menjelaskan dari mana. Selama mengenal Naruto dalam enam tahun ini, selalu ada saat di mana wanita itu menjadi seperti asing dan menarik diri. Sesuatu yang bahkan hingga detik ini tak ia ketahui mengapa, juga karena apa.

Mengamati gurat gelisah yang samar terlihat di wajah keponakannya, Mikoto lantas menangkup punggung tangan besar itu, membawanya ke pangkuannya. Ia menarik senyuman, lalu menepuk-nepuk punggung tangan Itachi pelan. Meski yakin jika hal itu tak akan serta-merta membuat kegelisahan Itachi sirna, tapi setidaknya dirinya berharap jika pria itu bisa berangsur tenang.

"Bisakah kau tinggal sedikit lebih lama?" tanya Mikoto, "aku ingin membuatkan sarapan untuk kau bawa untuknya. Kalian bisa makan bersama."

Sesuai harapan, Itachi mengulas senyum kecil saat mendengarnya. Segeralah Mikoto mencubit gemas pipi keponakannya itu sebelum berlari kecil menuju dapur. Biarkan beberapa pelayannya mengambil alih menu untuk sarapan pagi ini karena dirinya hanya akan menyibukkan diri dengan masakan yang akan dibuatkan khusus untuk Naruto.

Itachi menghabiskan waktunya untuk melakukan aktivitas-aktivitas kecil, seperti mengecek beberapa email yang berisi laporan keuangan kafenya, mencari referensi desain interior di internet, juga berkeliling di taman belakang kediaman Uchiha. Untuk kali ini, satu jam terasa seperti satu hari baginya. Rasanya sungguh tak sabar untuk pergi ke apartemen Naruto, mengunjunginya. Namun, ia tak sampai hati untuk menolak keinginan bibinya. Lagi pula, bukan ide buruk untuk membawakan kekasihnya itu makanan. Jujur saja, Itachi sedikit sangsi jika Naruto makan dengan baik dengan kondisinya yang seperti sekarang.

"Ini dia." Mikoto meletakkan paper bag berisi kotak makan susun di hadapan Itachi yang sibuk menggulir layar ponselnya untuk mengecek berita terbaru. "Maaf membuatmu menunggu lama."

September: When I First Met You ... Again [Book-2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang