9. Oblivion

216 28 19
                                    

"Lihat semua ini! Aku membelinya untuk kalian." Hinata mengeluarkan beberapa paper bag dan kotak-kotak cantik dengan merek terkenal, lalu meletakkannya di depan Naruto dan Sakura. Ketiganya kini duduk melingkar di lantai kamarnya, di atas karpet bulu berwarna ungu muda. Hal ini mengingatkan mereka pada masa-masa kuliah, di mana ketiganya kerap kali berkumpul seperti sekarang, bersenda gurau, bergosip, tak lupa mengacaukan seisi kamar. Bedanya, poin ketiga tak lagi mereka lakukan karena bertambahnya usia.

"Ayo, bukalah!" seru Hinata tak sabaran. Penasaran ia dengan reaksi kedua sahabatnya saat membuka oleh-oleh darinya.

"Kau pasti sudah gila!" Sakura menutup mulutnya dengan sebelah tangan setelah salah satu kotak di hadapannya dia buka. Sementara itu, di sampingnya, Hinata tersenyum kegirangan.

"Berapa uang yang kau habiskan untuk membelinya?" Sakura menunjuk dompet dengan emblem kecil khas salah satu merek ternama dunia itu dengan ujung hidungnya. Kemudian, ia beralih mengamati semua oleh-oleh yang Hinata bawakan setelah acara bulan madunya. "Semua ini juga."

Hinata menggumam panjang, keningnya berkerut samar. Tak lama, senyumnya kembali terkembang. "Tenang saja, ini tak menghabiskan semua tabunganku."

Tak pelak, Sakura memutar kedua matanya sebagai balas. Untuk kesekian kali dalam sekian tahun terakhir, ia harusnya sudah hafal betul dengan siapa dirinya berurusan: Keluarga Hyuuga dengan semua privilese mereka.

Sembari mencibir Hinata, matanya tak sengaja menangkap Naruto yang hanya diam menatap dompet di pangkuannya. Diliriknya pula Hinata yang kini memberi isyarat kepadanya.

"Hei," sapa Sakura seraya mengusap lengan Naruto. "Kau bisa memberikannya padaku jika tak menyukainya."

Ia berdeham. Senyum jenakanya pun perlahan menghilang. Sesuai dugaan, Naruto tak menanggapi candaannya. Benar, Naruto memang menoleh dan menatap ke arahnya, tapi tidak dengan pikirannya. Sahabatnya itu seperti berada di tempat yang jauh dari sini.

"Naruto!" Sakura setengah menyentak hingga membuat si empunya nama mengerjap, lalu menyunggingkan senyum simpul.

"Maaf, katakan lagi, Sakura."

Lantas, si empunya nama menghela napas pendek. Mendadak, ia tak lagi tertarik dengan semua barang di hadapannya. "Kita bisa pergi jika kau tidak suka di sini."

"Kenapa aku harus pergi?"

"Dengar, aku minta maaf. Aku sungguh tak tahu jika Kak Neji akan membawanya kemari. Setahuku, dia pergi main golf pagi tadi." Hinata turut menimpali. "Aku ...."

"Aku tidak akan pergi." Naruto menjawab lirih. Ia mengambil napas pendek, lalu menatap kedua sahabatnya lekat-lekat. "Aku tidak akan lari kali ini."

"Sudah kupikirkan semuanya selama beberapa hari terakhir. Semua yang pernah kalian katakan ... itu benar, tapi aku terlalu pengecut untuk mengakuinya. Dan sekarang, setelah aku akhirnya berani mengambil langkah, kenapa kalian memintaku mundur dan berbalik arah?"

Dalam sepersekian detik, Naruto sudah mendapati dirinya dalam pelukan Hinata. "Kau tak tahu seberapa lama aku menunggu agar kau mengatakannya."

"Kau menangis?" gumam Naruto saat merasakan gerakan kecil Hinata dari balik bahunya.

"Menurutmu?" Sontak, Hinata melepaskan pelukan dan tak segan menunjukkan wajahnya yang memerah dan sembab. "Aku, Sakura, dan Temari mungkin tak menemanimu setiap saat, tapi kami tau bagaimana kau menjalani malam-malam dengan mimpi buruk. Kami mendengar tangis yang sekuat tenaga kau redam sedari tengah malam hingga pagi buta. Kami bisa merasakan sakit dalam jeritanmu saat kau sendirian di rumah. Kami juga tau lelahmu saat mengunjungi terapis secara berkala. Kami tahu semuanya dengan baik, Naruto-chan."

September: When I First Met You ... Again [Book-2]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang