11. Pertanda atau Apa?

39 18 7
                                    


Kian flashback on

“Padahal bukan kali pertama, tapi kok hawa di sini beda dari biasanya.” Menyingkap pintu tenda, aku keluar meninggalkan Miftah dan Eky yang sudah tidur sedari tadi. 

Duduk sebentar sembari menikmati udara malam akan membantuku segera mendapati kantuk, pikirku. Sengaja meninggalkan headlamp, karena aku hanya akan duduk di depan tenda saja.

Srek Srek Srek

Indera pendengaranku begitu sensitif sehingga aku bisa tahu dari mana suara itu berasal. Merubah posisi menjadi berdiri, dibantu pencahayaan dari ponsel aku berkeliling di sekitar tenda. Nihil, tidak ada apa pun di sana.

Setelah dirasa aman dan tidak ada bahaya, aku hendak kembali masuk ke dalam tenda. Namun, baru saja sebelah tanganku ingin menutup pintunya, aku melihat pergerakan dan cahaya senter yang menyorot ke segala arah.

“Tuh orang, ngapain malem-malem keluyuran di luar? Mana maenin senter pula, kek kurang kerjaan aja.” Aku menggerutu sembari terus memperhatikan orang itu.

“Tunggu! Seingatku, dia, Ara.” Sedikit terkejut ketika melihat dia mengarahkan senter dari bawah ke wajahnya, sehingga aku bisa langsung mengenalinya.

“Ra, tunggu! Kamu mau pergi ke mana?” Aku berteriak ketika dia mulai menjauh dari tenda, tetapi dia seolah menulikan pendengarannya.

Buru-buru keluar lagi dan memakai alas kaki dengan asal, aku harus mengejarnya sebelum dia berjalan semakin jauh. Karena yang aku lihat, dia tidak kembali ke tenda, melainkan semakin menjauh entah mau ke mana.

Anehnya, langkah lebarku tidak bisa menyeimbangi langkah kakinya, sehingga aku harus berlari agar bisa menyusulnya.

“Berhenti, Ra! Itu bukan jalan balik ke tenda, tapi itu dunia mereka, Kinara.” Aku terus meneriakinya, berharap dia mendengar dan cepat kembali memutar arah.

Entah apa yang sedang dicarinya, cewek itu terus saja celingak-celinguk di antara dua pohon besar yang terlihat seperti pintu gerbang selamat datang.

“Astaga! Dia budeg apa gimana sih, dari tadi dipanggil gak nengok-nengok.” Aku merutuk, sedangkan cewek itu terus saja melangkah masuk dan semakin jauh melewati dua pohon besar.

“Ra, awas di belakangmu!” Lagi-lagi aku berteriak, mengingatkan dia akan sosok hitam yang sedang melesat dari atas pohon menuju ke arahnya.

Sialnya, dia sama sekali tidak mendengarku dan malah semakin gencar menyorotkan senter yang dibawanya ke segala arah.

Sedangkan, sosok hitam itu terus saja berpindah tempat dari satu pohon ke pohon yang lain. Sosok itu seperti sedang membuat perangkap, di mana yang menjadi buruannya adalah Kinara.

“Menjauhlah kau!” bentakku pada sosok hitam itu.

Berbekal ilmu yang diajari oleh kakek, aku dapat melemahkan energinya. Tidak mau membuang kesempatan, selagi sosok itu lengah aku segera mencekal tangan Kinara dan membawanya lari menjauh, keluar dari dimensi mereka yang tak kasat mata.

Di tengah pelarian, sesekali dia berusaha minta dilepaskan, akan tetapi aku justru semakin mencengkram kuat pergelangan tangannya.

Mungkin, dia merasa kesakitan, tapi biarlah daripada dalam bahaya karena jadi incaran mereka. Aku membawanya berlarian menembus gelapnya malam serta hembusan angin yang mencucuk hingga ke tulang.

Flashback off

 
🌲🌲


Oh gitu! Gue takut terjadi apa-apa sama lo pada, mana si Adel panik banget tadi tuh.” Bang Teguh dan yang lain bernapas lega mendengar penuturanku.

Teror di Gunung Cikuray (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang