Happy reading :)Langit cerah berubah mendung. Rintik air hujan berjatuhan membasahi tanah sehingga membuat jalur yang dilewati menjadi becek dan licin. Kalau tidak ekstra hati-hati maka akan terpeleset.
Cuaca berubah kapan saja tanpa bisa diprediksi. Di sinilah setiap individu harus siap dan sigap menghadapinya. Kesiapan mental dan juga fisik berperan penting dalam dunia pendakian. Tidak jarang pendaki akan merasa tertekan dengan jalur yang semakin sulit sehingga membuatnya putus asa dan berakhir minta ditinggal saja, hal ini sangat beresiko.
Kami berhenti sebentar untuk memakai jas hujan dan mengamankan barang elektronik yang kami bawa. Jas hujan warna-warna menjadi pemandangan di tengah hutan yang diguyur hujan.
"Hawa di sini anyep banget." Aku menggosok telapak tangan karena angin yang berhembus dingin.
Merasa sedang diperhatikan, kedua mataku mengedar ke sekeliling. Damnt it! Aku dan dia beradu pandang, dia sedang menatapku tanpa ekspresi. Demi apa pun, dia terlihat lebih dingin dari Gunung Cikuray.
Buru-buru membuang muka ke arah lain, aku tidak mau bersitatap lama-lama sama cowok itu. Entah kenapa, dia selalu melihatku dengan tatapan sarat akan makna.
"Perhatikan langkah! Salah dikit auto nyungsep." Miftah bersuara. Lalu, disahuti dengan tawa.
"Bang, kita gak ngaso dulu? Hujannya mulai banyak." Adel membenarkan jas hujan yang dipakainya.
"Lima menit lagi sampe pos 2, kita istirahat di sana." Kali ini Bang Teguh berjalan memimpin.
Lima menit yang disebut itu PHP. Karena nyatanya, kami masih harus berjalan sekitar 20 menitan untuk tiba di sana. Track dan tanjakan yang licin membuat langkah kami sedikit lamban, kami harus ekstra hati-hati.
🌲🌲🌲
Flyset sudah terbentang, melindungi kami dari guyuran air hujan yang mulai deras. Logistik dikeluarkan, kami masak untuk makan siang.
Cangkir yang dibawa masing-masing sudah terisi oleh minuman hangat yang manis dan masih mengeluarkan asap. Kehangatan yang haqiqi. :v
"Sawi sama baksonya masukin sekarang." Antusias Adel membantu Eky masak. "Nih! Rawitnya masukin juga."
"Yaelah, dudul. Jangan dilempar, kuahnya nyiprat ke muka gue." Eky mengusap kuah mie yang memenuhi wajahnya.
"Del, sini. Bantu gue goreng nuget!" pintaku. Adel berpindah tempat dan mulai membolak-balik nuget. "Pelan-pelan aja."
"Gak like gue masak sama si Eky." Adel ngambek. "Ape lo liat-liat?"
"Dih! Yang kena kuah siapa yang ngambek siapa." Eky terkekeh.
"Udah sih! Gak usah ribut mulu." Aku menengahi.
Langit yang gelap dan riuhnya suara angin membuat suasana hutan terasa mencekam. Selain tiga orang tadi, kami tidak berpapasan dengan pendaki lainnya. Seolah-olah hanya rombongan kami yang ada di hutan ini.
Bergidik karena tiupan angin di tengkuk, aku melihat sekeliling, sepi dan berkabut.
Menu makan sore ini yaitu mie dan nuget. Simple dan tidak perlu memakan waktu lama. Emang gak masak nasi? Sebelum berangkat, kami sengaja membeli nasi untuk makan siang.
"Nih! Sebat dulu, Ky." Bang Teguh menyodorkan sebungkus rokok.
"Entar aja, Bang." Eky memasukkan irisan sosis ke dalam nesting yang berisi mie yang sebentar lagi matang. "Kasian cewek, pada batuk noh!"
Menyadari Aku dan Adel yang tidak nyaman dengan asap rokok, Bang Teguh menghentikan aktivitas merokoknya dan memasukkan sisa puntung yang sudah padam ke dalam botol bekas.
Fyi! Sekecil apa pun sampahnya, kalau dibiarkan terus-menerus akan menumpuk dan mengotori kelestarian hutan. So, bawa turun sampahmu ya Gengs.
Enam bungkus Indomie yang dimasak dengan bakso, sawi dan irisan sosis serta nuget yang tadi digoreng sudah matang. Kemudian, dibagi sama rata di atas tempat makan masing-masing.
Kok gak di satu tempat? Walaupun pandemi sudah longgar, tetapi kami tetap harus menjaga protokol kesehatan. Mencegah lebih baik daripada mengobati. Stay safe and healthy, ya Gengs.
"Thanks, Ky. Lo udah masak buat kita," ucapku pada Eky.
"Haha... yoi, santai aja, Ra." Eky nyeruput kuah mie buatannya.
"Ra, gue minta sambel dong." Faisal menunjuk botol yang ada di dekatku.
"Thanks." Faisal menerimanya.
"Sama-sama." Aku mengeluarkan kerupuk udang yang aku beli sewaktu di Basecamp. "Nih! Temen makan."
"Doyan kerupuk juga, Lo?" celetuk Bang Teguh. "Sama kek si Biyan, haha..."
"Ck! Gue adeknya." Aku menjawab bangga.
Ngomong-ngomong Bang Biyan. Aku baru ingat dengan pesannya bahwa aku harus memberinya kabar. Selesai makan, buru-buru aku merogoh hp di Sling bag dan mengirim pesan singkat lewat aplikasi hijau.
Bang Biyan
[Bang, aku di pos 2.]
[Baru kelar makan, bentar lagi mau jalan.]
[Jaga diri baik-baik, Dek.][Kalau capek minta break aja, jangan maksain.]
[Siap laksanakan, Guide.]
[Aku kuat, aku hebat.]
[Kalau gak aktif, berarti gak ada sinyal.]
Bang Biyan mengirim foto selfie dirinya yang sedang berada di alun-alun Suryakencana. Di belakangnya ada beberapa rekan yang ikut mengabadikan diri.[Kapan-kapan, Abang ajak kamu ke sini.]
[Stay safe, Dek.]
Belum sempat aku balas. Sinyal sudah keburu hilang dan terdengar gemuruh petir dari kejauhan, akhirnya aku kembali menaruh hp agar aman.
"Ra, sini!" Adel melambai. "Yok, kita foto dulu!"
Miftah mengeluarkan kamera dari tasnya. Tiga jepretan gambar mengabadikan momen kebersamaan kami di pos dua.
"Ra, liat sini!" Miftah mengarahkan kameranya padaku, satu jepretan berhasil dia ambil. Melihat hasil jepretan di kamera, Miftah tersenyum penuh makna.
"Bagus!" ucapnya, lalu menyimpan kamera itu ke dalam tasnya.
"Mif, sini gue mau liat hasilnya! Lo iseng banget sih, muka gue jelek banget itu." Aku berusaha meraih kamera itu, tapi sudah keburu dimasukan ke dalam Carrier.
"Hasilnya cocok, Ra." Kata-katanya ambigu. Dia tersenyum penuh kemenangan.
Aku memberikan tatapan tajam padanya, lalu melirik sekilas pada temannya yang dingin itu, tapi dia hanya nyengir seperti kuda. Miftah dan cowok dingin itu benar-benar bikin repot.
Repot perasaan maksudnya hihi
Selesai jeprat-jepret, kami berkemas dan membersihkan sisa masak tadi. Sampah logistik dimasukan ke Trash bag, nesting dan alat makan dicuci bersih dengan air hujan. Berkemas clear dan kami siap melanjutkan perjalanan.
🌲🌲
Terima kasih buat yang selalu mampir di ceritaku :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Teror di Gunung Cikuray (Hiatus)
Macera"Perjalanan hidup yang bermakna tidak bisa didapat begitu saja. Kamu harus mulai mencari, menciptakan, lalu temukan hal besar yang belum pernah kamu dapatkan." -Kinara Niat hati liburan untuk menikmati alam dan mendapat ketenangan, tapi setibanya d...