13. Menggapai Puncak

17 7 1
                                    



Tiupan angin kencang serta gemuruh guntur datang bersamaan. Kilatan cahaya terang terlihat begitu jelas di depan mata, membuat kami yang berjumlah delapan orang terpecah menjadi dua kelompok.

Kilatan cahaya melintas tepat di depanku, yaitu di antara celah aku dan Adel. Karena terkejut, aku sampai mundur beberapa langkah, sehingga membuat mereka yang berjalan di belakangku saling bertabrakan, lagi.

Entah bagaimana dengan mereka yang berada di depan, aku benar-benar seperti orang linglung sekarang. Indera pendengaranku berdengung dan waktu seolah berhenti untuk sesaat.

Aku kehilangan kesadaran, bahkan ketika mereka memanggil pun aku tidak bisa memberi respon apa pun.

“Ra! Ara! Lo kenapa?” Aku dapat merasakan guncangan kecil di bahuku. Entah siapa, aku tidak tahu.

“Ra, nyebut, Ra!” Lagi, entah siapa yang menepuk-nepuk kedua pipiku.

“Ra, ikutin ucapan gue! Astagfirullah, astagfirullah, astagfirullah.” Aku dituntun untuk mengucapkan kalimat-kalimat suci.

Dingin. Aku dapat merasakan tetesan air hujan yang jatuh mengenai wajahku. Tunggu! Apa aku berada di dimensi yang lain, lagi?

“Ara! Lo kenapa, Ra? Sadar, Ra, jangan bikin kita takut.” Aku bisa mendengar Adel yang sedang terisak.

Mengerjap beberapa kali, aku tidak henti berdoa di dalam hati agar semua baik-baik saja dan kami bisa tiba di puncak dengan selamat. 

Aku merasakan ada angin halus yang menerpa wajah, setelahnya aku dapat melihat dengan jelas mereka semua sedang menatap ke arahku.

“Ara, lo kenapa?” tanya Adel sembari menepuk-nepuk pipiku.

“Aw! Sakit, Del. Tangan lo udah kek tukang pukul," selorohku bercanda. Aku tersenyum lebar ke arahnya.

“Lo bikin gue takut, Ra.” Adel memelukku dengan begitu erat, sampai-sampai aku kesulitan bernapas.

“Del, gue gak bisa napas,” ungkapku membuat Adel menguraikan pelukannya.

Mengedarkan pandangan, enam orang cowok sedang menatap ke arahku. Aku yang merasa tidak nyaman karena ditatap seperti itu, langsung menyemprot mereka dengan pertanyaan sengit.

“Kenapa, lo pada ngeliatin gue sampe segitunya?”

“Minimal, jangan senderan gitu, bisa kali ya.” Eky dengan kerandomannya menimpali.

“Hah? Nyender? Gue? Nyender ke siapa cob ....” Menggantungkan kalimat, aku meliarkan penglihatan.

Damn it! Kepalaku bersandar menumpu di lengan kanannya. Berkat Carrier yang melekat di punggung, dia bisa menahan tubuhku agar tidak jatuh ke tanah. Sekilas memang terlihat seperti sedang bersandar di sana, tapi kembali lagi pada kenyataan, dia hanya membantu.

“Eh, eh, sorry! Gue gak sengaja, Ki, thanks udah nolongin gue.” Aku menarik diri darinya dan berdiri tegak seperti semula. Sedangkan, cowok itu hanya mengangguk menanggapi.

“Ra, lo kenapa?” tanya Bang Teguh yang entah sejak kapan sudah berada di dekatku. 

“Gue gak apa-apa, Bang, tadi cuma kaget aja,” balasku apa adanya. Karena, memang seperti itu kenyatannya.

“Kita semua juga kaget, Ra. Kilatan petir tiba-tiba lewat di depan kita, tapi lebih kaget lagi pas liat lo bengong dan sama sekali gak gerak,” jelas Bang Teguh yang berhasil membuat aku melongo dan seketika kepalaku dipenuhi banyak pertanyaan.

Teror di Gunung Cikuray (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang