Selesai

29 1 0
                                    

Tatapan yang semula sekilas seketika larut hingga keduanya beradu pandang dalam durasi cukup lama. Mela tak mengedipkan mata sedikit pun, seolah terhipnotis dengan wajah pemuda yang tertutup topeng itu. Sementara sang pemuda pun menatap lamat-lamat gadis yang kini mematung di hadapannya.

Mela memosisikan diri untuk berdiri tegap. Mengapa hatinya berdebar sangat cepat? Apakah dia jatuh cinta untuk yang kedua kali atau karena tak sanggup menahan amarah yang tiba-tiba membuncah?

"Mela," panggil laki-laki itu memecah keheningan di antara mereka.

"Kak Niko ngapain di sini? Mana Nadya?" balas Mela begitu ketus.

Laki-laki itu memang Niko. Mantan pacar yang menurut Mela paling jahat. Dia masih ingat ketika Niko hanya mempermainkan perasaannya. Menjadikan dirinya sebagai bahan tutup mulut, tanpa dilandasi sebuah perasaan. Parahnya lagi, itu tidak berlangsung beberapa hari melainkan satu tahun penuh.

"Aku di sini. Aku butuh ngomong sama kamu," pinta Niko, menggenggam kedua lengan tangan Mela.

Darah di jantung Mela berdesir lebih cepat dari biasanya. Perasaannya bimbang. Pikiran seolah memerintahnya untuk memukul, menampar, dan memberi pelajaran pada Niko. Namun, hati melarang untuknya melakukan itu karena sebenarnya masih ada rasa sayang. Di sisi lain, gadis itu juga ingin memeluk Niko untuk mengungkapkan kebahagiaan karena bisa bertemu lagi dengannya, laki-laki yang sesungguhnya masih sangat dicintai.

Namun mengingat apa yang pernah diucapkan Niko sebagai alasan keduanya menjalin hubungan, wajah Mela mendadak terasa panas karena ia marah. Seketika gadis itu melepas dan membuang topengnya begitu saja. Dia berlari keluar dari arena dansa dan menjauh dari keramaian.

"Kenapa? Kenapa sekarang?" Mela putuskan untuk duduk di kursi panjang yang ada di taman belakang gedung.

Gadis bergaun maroon itu marah, kesal, dan mengutuk diri karena tak bisa menahan gejolak perasaannya sendiri. Bahkan, dinginnya angin malam yang berembus tak membuatnya merasa kedinginan kala suasana hati seperti sekarang.

Sedang berusaha menenangkan diri, tiba-tiba gerimis mulai turun. Niat yang semula ingin pulang meninggalkan acara begitu saja seketika urung. Rasanya tak mungkin, jika dia pulang kehujanan dengan gaun yang dikenakan ini.

"Sial, kenapa pake ujan segala, sih?" Mela menggerutu, seperti menyalahkan alam yang tak berpihak pada keinginannya. Ia pun segera berlari ke teras gedung.

Akan tetapi, semesta seolah ikut berduka atas apa yang terjadi malam ini. Buktinya, langit menurunkan hujan yang semula gerimis menjadi lebih deras. Mela memeluk tubuhnya sendiri sambil bersandar di teras gedung untuk berteduh.

Bayang-bayang masa lalu tetap saja belum beralih. Laksana tubuh yang terhempas angin, perasaannya dibawa terbang oleh seorang laki-laki tak berhati seperti Niko. Namun, bukan terbang untuk bahagia, melainkan terbang tinggi untuk dijatuhkan begitu saja tanpa belas kasih sedikit pun.

Mela berdecap, merasa sangat bodoh karena sudah percaya perkataan Niko saat itu. Akan tetapi, wajar saja. Gadis mana yang tak berbunga-bunga bila seseorang yang disukai sejak lama, tiba-tiba menyatakan perasaannya. Siapa pun akan menerimanya dengan bahagia tanpa butuh waktu untuk berpikir panjang.

"Emang bener, gue harusnya pake otak, bukan hati."

Di tengah derasnya hujan, Mela terus berdialog dengan dirinya sendiri. Dia masih dalam posisi memeluk tubuhnya sendiri. Mencari kehangatan untuk tubuhnya yang memakai gaun tak berlengan itu.

"Mela."

Mela seketika menoleh. Dipandangnya laki-laki berjas hitam yang tampak kesulitan bernapas, mungkin lelah karena sempat mencarinya ke seluruh daerah gedung. Gadis itu membuang muka, acuh tak acuh dengan keberadaannya.

Cinta Putih Abu Abu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang