Dua Puluh Enam

72 8 10
                                    

"Mela!"

Mendengar namanya disebut, spontan Mela menoleh ke arah sumber suara. Di depan mobil berwarna putih, Junia melambaikan tangan padanya.

Mela yang melihat hal tersebut tentu saja heran. Ada perlu apa gadis itu datang kembali ke SMA Pelita Alam dan memanggil namanya?

"Mel, sini!" seru Junia untuk kedua kalinya lantaran tak mendapat respon.

"Eh, i-iya, kak."

"Ayo!" ucapnya membukakan pintu untuk Mela.

"Kenapa, kak?"

"Nanti aja kalo mau nanya. Sekarang masuk dulu."

Junia tampak amat tergesa, sedangkan Mela sama sekali tidak mengerti alasan dari ketergesaan tersebut. Hal ini terlalu tiba-tiba, otak Mela belum mampu menyimpulkan apa-apa sejauh ini.

Setelah memastikan Mela duduk dengan nyaman, mobil putih itu segera melaju entah ke mana.

"Kak Junia mau ketemu Abang?" tanya Mela memecah keheningan yang tercipta sejak keberangkatan mereka.

"Iya."

"Tapi ... arah rumah bukan ke sini. Rumah Mela harusnya tadi belok ke kiri."

"Mika nggak di rumah," jawab Junia.

"Hah?"

"Kita ke rumah sakit. Mika di sana."

Deg!

"Ke-kenapa? Kapan?" 

Mela merasakan jantungnya mulai berdegup kencang, hampir menyaingi kecepatan mobil yang ditumpanginya saat ini. Ia lantas teringat alasan dirinya kesulitan untuk tidur semalam, pikirnya karena dia menginap di  rumah Mifta. Ternyata, perasaan tidak nyaman itu mengindikasikan bahwa sesuatu yang buruk telah terjadi pada Mika.

"Nggak tau, kata perawatnya, Mika masuk RS kemarin malem," jawab Junia.

Junia memasuki lorong rumah sakit, diikuti Mela yang tak kalah cemas. Dengan segera, keduanya menuju ke ruangan tempat Mika dirawat.

Saat pintu berwarna putih itu dibuka, tampak tubuh lemah Mika terbaring di sana. Matanya masih tertutup, katanya belum siuman sejak tadi malam. Pada kain yang membalut lengan serta tungkai Mika terlihat bercak berwarna merah kecokelatan, mungkin karena darah serta obat yang digunakan.

Begitu atensinya terfokus pada sang kakak, tangan Mela terbuka menghampiri tubuh Mika. Tangisnya pecah di pelukan laki-laki tersebut. Ini adalah kali pertama dia tidak sadarkan diri. Biasanya separah apapun luka Mika usai tawuran, tidak pernah sampai mengganggu aktivitasnya.

"Abaaang!" seru Mela seraya mengeratkan pelukannya.

Di belakangnya, Junia coba menenangkan gadis itu meski dengan air mata yang juga sudah membasahi pipinya.

"Kenapa bisa kayak gini, sih?!"

"Tenang, ya, Mel. Aku udah minta Papi buat nyari pelaku dari semua ini," ucap Junia berhasil membuat tangis Mela terhenti sejenak.

- - - - -

Niko terbangun dari tidur lelapnya akibat keributan yang mengusik gendang telinganya. Suara tersebut datang dari dapur, sepertinya itu Nathan yang sedang menyiapkan sarapan.

Suara serak khas bangun tidur terdengar saat Niko memanggil sosok yang telah membangunkannya. Dia mengangkat kepalanya untuk memeriksa situasi Nathan, sebab tidak biasanya dia berisik di dapur, kakak laki-lakinya itu selalu bekerja dengan rapi.

"Ya?" sahut laki-laki bernama Nathan tersebut.

Niko menghela napas lega mendengar sahutan itu. Ternyata abangnya baik-baik saja.

"Bikin sarapan, Nath?"

"Iya."

Setiap pagi, setelah menghabiskan beberapa menit di tempat tidur untuk mengumpulkan kesadaran, Niko akan bangkit untuk menyingkap gorden dan membuka jendela. Kebiasaan ini dicontohkan oleh Nathan, agar udara sejuk bisa mampir di paviliunnya.

"Loh?"

Laki-laki berkaus putih tersebut menggosok matanya beberapa kali guna memastikan apa yang dilihatnya. Saat itu, bukan hamparan rumput dan kicau burung yang terdengar melainkan suasana temaram berteman sunyi.

Matahari belum muncul.

"Nih." Nathan tiba-tiba datang dan menyodorkan piring. Daripada menerima tawaran itu, Niko justru bertanya, "Lo nggak sarapan?"

"Nggak."

"Kenapa?"

"Gapapa, lo aja yang sarapan," jawabnya tak menghiraukan raut heran Niko.

Meskipun hatinya risau, Niko memutuskan untuk tetap menyantap sarapannya.

Sementara ia menghabiskan nasi goreng tersebut, Nathan tampak sibuk memasukkan pakaian serta beberapa benda penting seperti ponsel dan dompet ke dalam backpack-nya. Niko pun terkesiap, saat melihat abangnya dalam balutan sweater hitam menyambar kunci motor di rak televisi.

Bahkan matahari masih malu menampakkan diri, sementara Nathan dengan setelan gelapnya sudah siap untuk meninggalkan paviliun.

"Kemana lo?" tanya Niko usai mengunyah suapan terakhirnya.

"Ada urusan."

"Urusan apa? Buru-buru banget."

"Makan siang udah gue siapin di deket kompor, ya. Gue pergi dulu."

"Loh, Nath. Tungg—"

Cklek!

Hampir 12 jam setelah kepergian Nathan, bahkan setelah Niko menyelesaikan kelas kuliahnya, Nathan tak kunjung kembali.

Entah mengapa sejak tadi pagi, perasaannya tidak nyaman. Meskipun Nathan pergi—untuk bekerja—setiap hari, hanya saja hari ini kepergiannya terasa aneh. Ia bangun pagi-pagi sekali untuk membuat sarapan sekaligus makan siang, dan setelah itu pergi membawa beberapa barang berharga miliknya. Pakaiannya juga sangat rapi, tidak terlihat akan pergi ke bengkel seperti biasanya.

Tok tok tok!

Ketukan pintu berhasil membuyarkan lamunan Niko. Mau tidak mau ia pun membukanya, meskipun tidak yakin siapa yang menyambanginya sore-sore begini.

Ketika pintu dibuka, tampak tiga pria berseragam polisi berdiri di sana.

"Y-ya?"

"Permisi, kami dari kepolisian." Pria yang berdiri paling depan menunjukkan kartu identitasnya.

Jantung Niko mencelus, perasaannya saat ini mirip seperti saat Mika mengunjunginya. Masih terukir jelas di ingatannya, bagaimana laki-laki berbadan besar muncul tepat di depan pintu ini. Sebisa mungkin Niko berdiri dengan tegak, berusaha menutupi kecemasan yang kini menjalar di seluruh tubuhnya.

"Apakah anda yang bernama Nathan Aditya?"

"Bukan, saya adiknya."

Polisi itu bergumam, lalu bertanya, "Dimana dia?"

Mengambil jeda beberapa detik, akhirnya Niko memilih untuk menjawab seadanya. "Pergi."

Ketiga polisi itu saling tatap, kemudian mengangguk pada satu sama lain.

Perasaan buruk Niko benar, sesuatu pasti telah terjadi kepada Nathan. Atau Nathan-lah yang membuat 'sesuatu' itu terjadi?

.
.
.
.

Jangan jadi pembaca tanpa jejak!
Tekan bintang nya ya **

Follow aku biar dapat notif setiap update part baru 😉

Cinta Putih Abu Abu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang