Dua Puluh Tiga

72 12 4
                                    

Niko paham jantung ibunya sudah tak baik, Niko paham fisik ibunya tak sekuat yang dulu-dulu, Niko paham ibunya yang entah sudah berapa kali keluar masuk rumah sakit.

Niko paham, sangat paham.

Itu sebabnya ia memperlakukan sang ibu dengan sangat istimewa. Namun, apakah perlakuannya itu masih kurang? Apa dirinya masih terlalu buruk mengurus ibunya sampai Tuhan mengambil alih tugasnya?

Tadi malam, adalah malam terburuk, terkejam, terpedih yang pernah ia lalui. Saat itu malam pukul sembilan, Tuhan merenggut wanita itu dari hidupnya.

Nathan dan ayahnya juga menemani masa kritis ibunya di ranjang rumah sakit.

"Jadi anak yang baik ya, Nak. Ikut papamu."

Saat napas ibunya yang pendek-pendek raib, saat tatapan sendu ibunya berubah menjadi tatapan kosong, saat tangan yang sudah muncul keriputnya itu melepas genggaman tangannya.

Saat itulah ia sadar, Tuhan sudah sepenuhnya mengambil hak hidup sang Ibu.

Malam itu, Niko menangis sejadi-jadinya. Tangis paling pilu sepanjang masa remajanya. Tak ada lagi yang dilakukan laki-laki itu selain berdoa dan menangis semalaman.

Pemakaman dilakukan esok siangnya.

Di bawah langit azura cerah, jasad ibu kandung Niko disemayamkan. Dengan mata sembap, Niko memlilih ikut membawa tubuh kaku ibunya ke liang lahat.

Siang itu langit sangat cerah, seolah tak berduka sama sekali atau barangkali ingin menghibur Niko semata.

"Ayo," ajak Nathan tatkala sang adik tetap bergeming di sisi makam ibunya.

"Mamah juga gak bakal suka kalo kepergiannya diratapi kayak gini." lanjutnya.

Niko tetap diam, masih teringat jelas bayang-bayang ibunya. Pikirannya penuh, penuh oleh lintas kenangan dengan sang Ibu sampai tak hirau akan sekitarnya.

Nathan masih bersama Niko bahkan satu jam setelah pemakaman. Sementara ayahnya menunggu di mobil, tak sanggup kembali ke peristirahatan terakhir istrinya.

- - - - -

"Sisil mau main, jangan kemana-mana lu."

"Serius?!"

Mika mengangguk.

"Abang pergi gak?"

"Gua?" tanyanya menunjuk diri sendiri.

"Iya."

"Gua mah bisa, kan lu yang dari kemaren gak bisa mulu."

"Gua aja rebahan begini, gak mungkin pergi." jawab Mela meregangkan tangannya, menegaskan bahwa ia sedang bermalas-malasan.

"Bales tuh chat dia." suruh Mika melihat adiknya masih merebahkan diri di sofa depan televisi.

"HP gua di kamar."

"Ambil lah."

"Nggak ah, mager." ucapnya malas. Tangannya masih sibuk mengganti saluran televisi, entah apa yang ingin ia tonton, sebab jarinya sudah mencapai saluran paling akhir di televisi lalu kembali ke atas dan begitu seterusnya.

"Tumben, biasanya juga gak lepas dari HP."

Keduanya kembali pada kesibukan masing-masing. Sampai suara ketukan pintu memecah hening antara kakak beradik itu.

Mela bangkit, menuju ruang depan tempat tamu yang barusan mengetuk pintu rumahnya datang. "Pasti Sisil!"

Dengan semangat, Mela memutar kenop pintu rumahnya. Sosok berbibir tipis tampak tersenyum menyapanya begitu pintu dibuka.

"Haaai-" buru-buru Mela menutup pintu kembali, tanpa mendengar sapaan sepupunya lebih lanjut.

"Kenapa ditutup?" tanya Mika yang tengah berdiri di ambang pemisah ruang.

"ADA CURUT!" ledek Mela.

Braakk!

Sisil tersenyum penuh kemenangan saat memasuki rumah setelah membuka paksa pintunya.

"Hahaha! Curutnya kejepit pintu!" balas Sisil.

Dahinya berdenyut usai dicium sisi belakang pintu. Sisil membuka pintu dengan kencang tanpa aba-aba, menyebabkan Mela yang masih di belakang pintu menjadi sasaran empuk.

"Abaaaanggg!" sembari mengusap keningnya, Mela merengek pada Mika.

Melihat hal tersebut, laki-laki bercelana hitam pendek itu hanya tertawa. Ibarat luka yang Mela dapatkan kini memang pantas jadi balasan atas apa yang diperbuatnya.

"Udah gede, jangan nangis!" ucap Sisil sembari tertawa.

"Makanya jangan iseng, jelek."

Setelahnya, Sisil dan Mika menuju ruang makan—karena kebetulan waktu makan siang sudah tiba—meninggalkan Mela yang masih mengaduh di dekat pintu.

"Si Mela dari kemaren cemberut aja tuh, au ngapa." ucap Mika melirik adiknya yang padahal sedang mengunyah makanan dengan tenang.

"Kenapa?" sahut Sisil.

Kunyahan Mela kian memelan, sebelum akhirnya menyuarakan apa yang memenuhi pikirannya berhari-hari ini, "Kak Niko ...."

"Kenapa dia?" tanya Sisil.

Mela memang jarang bercerita tentang hal-hal yang memberatkan dirinya, begitu juga saat Niko menghilang kira-kira setengah tahun yang lalu.

Prinsipnya, jika memang tidak ditanya ya sudah tidak perlu diceritakan.

"Ilang." jawab Mela seadanya.

"Harus lapor polisi gak nih kita?" ledek Mika.

Enggan menanggapi ledekan sang kakak, Mela kembali melanjutkan ucapannya. "Udah sebulan, di-chat gak dibales. Ditelpon apalagi. Gak tau gua diblok apa gimana, padahal kita gak berantem sama sekali."

"Udah, Niko doang mah. Besok gua beliin se-truk."

"Abang begitu juga ya, kalo Kak Junia ilang?"

"Begitu, gimana?"

"Gak peduli. Doi tuh, gak penting kan bagi Abang?"

Uhuk ... Uhuk!

Ucapan Mela telak menjatuhkan Mika. Laki-laki itu tersedak udara yang mendadak tersumbat di saluran napasnya.

Mela mendengkus sambil memutar bola matanya malas. Menatap sepupunya di sisi kiri, Mela bertanya, "Gua harus gimana?"

"Mau nyari?"

"Nyari kemana, Sil?" suara Mela sempurna seperti orang putus asa.

"Hmm ... kalo cowok tuh biasanya sering ngumpul sama temen gak sih? Gimana kalo coba ke tongkrongannya?"

"Gua aja gak tau."

Mika segera angkat bicara saat otaknya memunculkan ide cemerlang, "Gua tau dia dimana. Di tongkrongan Nathan, mungkin?"

Iris coklat Mela melebar semata mendengar anak pikiran Mika.

.
.
.
.

Jangan jadi pembaca tanpa jejak!
Tekan bintang nya ya **

Follow aku biar dapat notif setiap update part baru 😉

Cinta Putih Abu Abu (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang