EX - 11

17 3 0
                                    

Prang!! Sebuah gelas meluncur melewati Celo dan menabrak dinding hingga hancur lebur.

Suara pecahannya terdengar nyaring di telinga Celo. Ia baru saja pulang ke rumah, masih dengan tas yang disampirkan pada bahunya memasuki area ruang keluarga.

Celo membuang nafasnya secara kasar. Dia sudah terlalu muak berada diantara kedua orangtuanya yang tiada hari tanpa keributan.

Para pelayan rumah turut mematung di ambang pintu, menatap persengitan antara nyonya dan tuan rumah mereka.

Begitu juga Celo, dia berhenti di ujung pintu yang menyambungkan ruang tamu dan ruang keluarga. Salah satu asisten rumah tangga di pojok sana menatap iba Celo. Sedangkan pria itu hanya menampilkan wajah datar.

"KAMU HAMIL HAH! ANAK SIAPA LAGI SEKARANG!?" Pria tampan yang umurnya hampir setengah baya berteriak bersamaan tatapan amarah pada istrinya. Wanita yang juga seumuran itu tak terlihat sama sekali bahwa dirinya sudah hampir menginjak kepala empat.

PLAK!

Tamparan itu mendarat di pipi Rachel – Ibu Marcelo – . Wanita itu tampak tertawa getir.

"Aku lupa," balasnya begitu santai dan seperti taka da beban sama sekali. Celo muak mendapati wajah ibunya sendiri yang sudah ia anggap jalang murahan meskipun ibunya merupakan seorang selebriti terekenal.

Jacob – Ayah Marcelo – semakin murka. Siapa yang tidak murka ketika mengetahui sang istri hamil pria lain, di umur yang sudah hampir setengah abad dan pernikahan mereka yang sudah hampir 19 tahun membina rumah tangga. Ditambah lagi hamil bukan untuk yang pertama kalinya.

Bukan tanpa alasan Jacob mempertahankan pernikahannya. Dia hanya ingin menjaga kekudusan yang sudah dia ucapkan di depan altar 19 tahun lalu bersama Rachel meskipun pernikahan nya dilandasi karena kehadiran Celo putra tunggal mereka yang sudah tumbuh di rahim wanita itu.

Meskipun mungkin terlihat terpaksa, tapi Jacob tulus mencintai Rachel. Walau terkadang ia bermain kasar padanya, karena memang Rachel yang begitu menguras amarahnya.

"Ceraikan saja aku, Mas." Rachel berujar setelah diselimuti keheningan. Jacob terduduk sembari memijit pelipisnya yang terasa sakit dan semakin pening mendengar keinginan Rachel.

Sementara itu Celo melangkahkan kakinya untuk masuk ke kamar, berusaha tak memperdulikan kedua orangtuanya.

"Marcelo," Rachel memanggil nya. Namun Celo tak berniat berbalik ia hanya terdiam menunggu perkataan selanjutnya.

"Beritahu Yangkung mu, Mama akan menceraikan anaknya." Setelah berucap itu, Rachel pergi meninggalkan Jacob dan Celo yang mematung di tempat.

"Jangan dengarkan Rachel, Celo. Balik kamar dan jangan keluar malam ini!" Tegas Jacob sebelum meninggalkan ruang tengah menuju keluar.

Selalu seperti ini. Setelah keributan pasti kedua orangtuanya akan sama-sama pergi entah kemana. Meninggalkan Celo bersama kesendirian nya.

*****

Berbeda dengan Vincent, pria itu merasa gundah. Zoya, ia tidak mengangkat telepon bahkan mematikan ponsel nya ketka Vincent mendial dirinya untuk yang ke lima kali.

Sesampainya di Apartemen setelah pulang dari rumah sang kakek, Vincent tidak menempati Zoya ada di sana setelah pria itu mengunjungi kampus yang ternyata sudah sepi. Dia juga lupa memberitahu bahwa Vincent harus ketempat sang kakek saat siang nya.

Vincent mengacak rambutnya, merasa frustasi. "Shit! Kemana Zoya." Menggenggam erat ponsel ditangannya. Nyaris meremuk.

Sudah ia hubungi Janice namun nihil, gadis itu tak tahu dan malah mengomelinya karena tidak becus menjaga sahabatnya. Lalu mencoba menghubungi Heaven, sahabatnya yang lain dan ternyata wanita itu sedang bekerja jadi ia tidak tahu.

Sementara Anya, sudah lama Vincent beserta kawanan nya diblokir. Hingga tidak bisa lagi menghubungi gadis berkulit eksotis itu.

Lelaki itu menyender di sofa dan kepalanya ia tadahkan menatap langit-langit apartemen. Memikirkan dimana kira-kira Zoya pergi selain kediamannya. Namun, fokusnya buyar ketika panggilan masuk. Cepat-cepat meraih dan mendesah lesu ketika bukan yang diharapkan menelepon.

Bunda.

"Halo, Bun?" sapa Vincent bersama nada lelah dan tak bersemangat.

"Zoya ada?"

Kening Vincent berkerut. Tumben sekali Bunda menanyakan keberadaan Zoya. "Ada. Kenapa?" bohong nya.

"Syukurlah. Tadi kamu kemana, bunda siang ke apartemen kamu ternyata ada Zoya sendirian."

Vincent melotot. Kaget sekaligus jantungnya seakan berhenti berdetak. Dia berbohong pada Zoya izin menjemput Bunda ke Bandara pada kenyataan nya ia pergi menemui Karina.

Jadi ini sebabnya Zoya tidak mengabari dan tidak pulang. Vincent paham.

"Ada lah, Bunda kepo banget. Icen tutup dulu ya." Tanpa menunggu jawaban pria itu menutup teleponnya. Dia harus menemui Zoya dan menjelaskan semuanya.

Karina. Kalau bukan karena gadis itu dulu Vincent tidak akan merelakan Zoya pergi, tapi untuk kali ini dia akan memilih Zoya dan mulai membiasakan diri untuk tega kepada Karina.

Semalam setelah pulang dari tempat Delphi, Vincent mendapat spam telepon dan chat dari Suster Gesa, mengabarkan bahwa Karina kembali collapse dan tidak mau minum obat. Juga nyaris menyayat nadinya sendiri.

Hal itu sedikit membuat nya trauma, lantaran Ia sendiri pernah melihat langsung bagaimana Karina begitu depresi dengan hidupnya. Hingga tanpa sadar dia lebih memihak Karina dan tak punya waktu untuknya bersama Zoya.

Tapi itu dulu. Dan Vincent tidak mau mengulang kesalahan yang sama.

Vincent meraih jaket nya dan kunci motor, ia memutuskan untuk mencari Zoya kemanapun membelah jalanan malam kota Jakarta.

Mencoba menapaki tempat-tempat yang biasanya Zoya datangi. Tapi nampaknya, sudah hampir satu jam Vincent berkeliling dimulai Kedai Ice Cream favorit Zoya yang sudah tutup hingga area taman bermain di komplek perumahan salah satu tempat favorit Zoya untuk menyendiri sudah ia jajahi.

Tapi nihil, tidak ada jejak keberadaan. Sementara hari semakin gelap, jam sudah menunjuk pukul setengah sepuluh. Dan Vincent memutuskan untuk berhenti di Warung makan Pak Muhidin.

Salah satu tempat makan yang sering Zoya dan Vincent datangi setiap malam minggu atau ketika awal bulan. Dan memesan menu andalannya yaitu sop Iga.

"Eh, si Aa, tadi neng Zoya kesini juga beli makan loh," ujar Pak Muhidin, pemilik kedai ketika melihat Vincent.

Vincent terjingkat, pendengarannya ditajamkan. "Zoya? Sama siapa kesini dia?"

Pak Muhidin mengernyit mengingat rupa teman yang dibawa Zoya tadi. "Cewe, rambutnya gimbal, kulitnya cokelat tapi manis. Baru aja balik, soalnya di bungkus tadi."

Dan Vincent meyakini sekarang Zoya berada bersama Anya setelah mendengar ciri-ciri yang disebut oleh Pak Muhidin.

"Pak Saya di bungkus aja ya,"

"Siap, Aa ganteng. Duduk dulu atuh." Pak Muhidin menyiapkan pesanan Vincent secepat mungkin. Pasangan remaja yang sudah ia kenal sedari mereka masih memakai pakaian putih abu-abu sampai sekarang menginjak bangku kuliah.

Vincent berpikir keras, bagaimana caranya dia menemukan tempat tinggal Anya. Dan tercetuslah satu nama dengan harapan tertinggi bisa menjawab. Gadis tionghoa itu. Janice.

Setelah mengirim pesan dan mendapat balasan yang diinginkan Vincent tersenyum lega. Akhirnya dia mendapatkan alamat Kosan Anya.

Tunggu gue, Zoy. Gue bakal berusaha perjuangin elo, gak bodoh lagi kayak dulu.

Annoying My ExTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang