Erwin bagian 1

4 0 0
                                    

Andai saja dunia tidak memisahkan kita, apakah itu akan menjadi surga, ataukah menjadi neraka? Anthima, tunggu Kakakmu.

Suara hujan deras mengiringi decakan kaki kereta kuda itu. Tiada suara yang keluar dari mulut mereka, terkadang pandangannya saling menatap kemudian melihat keluar jendela, hanya terlihat hutan yang lebat, gelap nan sunyi. Perasaan mereka tidak enak, tentu saja semua itu bertambah parah saat roda kereta terjatuh ke dalam kubangan lumpur yang dalam, kuda yang terkejut mulai meringkih, mereka semua terjungkal tak tahu arah. Sesaat mereka terbangun dari jatuh, merek saling menatap satu sama lain.

"Hei, kalian lihat apa yang terjadi!" Suruhnya.

Para pelayan itu saling menatap satu sama lain, kemudian turun dari kereta. Di sana sudah terlihat sopir kereta yang melihat keadaan ban kereta yang tersangkut.

"Ayo bantu dorong," ajak sopir itu mendorong bagian belakang kereta.

Mereka sempat kebingungan, karena terlalu lama, sopir itu sempat membentak mereka. Seakan tersambar petir, para pelayan itu segera bergegas membantu sang sopir yang sudah basah kuyup diguyur air hujan. Perlahan tapi pasti, suara kerja keras mereka membuahkan hasil, roda mulai naik ke permukaan, tapi bersamaan dengan roda yang sampai di permukaan, petir mulai menyambar tepat di dekat mereka. Beberapa sempat lari ketakutan, beberapa lagi hanya mengelus dada.

"Petir sialan," umpat salah seorang pelayan.

Perjalanan pun bisa berlanjut, tapi sesaat salah seorang pelayan menyusul untuk naik ke kereta, bangsawan itu segera mencegatnya. Dengan tatapan jijik, dia menyuruh pelayannya untuk berjalan kaki,"Kalian sudah kotor, ingin merusak kereta kudaku ya!" Tidak bisa melawan perintah Tuannya, mereka hanya bisa mennuruti sambil menundukkan kepala.

Perjalanan yang memakan waktu beberapa jam itu akhirnya terbayarkan, terlihat dari kejauhan istana megah yang menjulang tinggi dan benteng kokoh nan kuat yang mengitarinya. Para pelayan itu menghembuskan napas lega, kaki mereka mulai tidak sanggup lagi berjalan. Melewati gerbang yang dijaga oleh dua prajurit dengan armor lengkap dan tombak panjang. Kepala bangsawan itu mencuat keluar dari jendela.

"Woi! Kalian tidak tahu siapa aku?!!" Bentak bangsawan itu marah.

"Tu-Tuan Ferdinand, maaf tidak mengenali anda. Silahkan lewat." tunduk kedua prajurit itu hormat.

Melihat oranag-orang dengan baju mewah berjalan mengikuti kereta Tuan Ferdinand layaknya budak, salah seorang penjaga berbisik kepada temannya. 

"Ssstt! Mereka bukankah para budak?" Bisiknya.

"Entahlah, tapi menurut kabar. Orang itu suka menyiksa anak baru."

"Anak baru? Maksudmu apa?" 

"Ck!"Hela napasnya memaklumi teman bodohnya."Anak baru ya para tentara itu, yang pernah aku ceritakan padamu."

Sambil mengangkat kedua bahu dia membalas, temannya yang menatapnya hanya bisa menepuk jidat. Baru saja mereka ingin melanjutkan pembahasan, antrian berikutnya sudah saja mencapai depan gerbang, membuat mereka langsung bergegas melakukan pemeriksaan.

1 jam kemudian.

Matanya perlahan terbuka, remang-remang dia melihat atap yang begitu asing, tangan kanannya segera membopong kepalanya yang sakit. Perlahan Erwin terduduk di kasur, melihat ke sekitar, alangkah terkejutnya dia mendapati dirinya berada di ruangan serba mewah dengan kilauan benda-benda gemerlap. Tangannya memegang selimut yang lembut dan sedikit dingin, mencoba mengingat apa yang terjadi dengannya, tapi percuma, semakin dia mencoba mengingat semakin kepalanya terasa sakit.

"Hooooo."

Pandangan Erwin seketika tertuju ke sumber suara, dirinya sempat terkejut tidak main melihat seorang gadis berambut pirang menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Bersamaan Erwin yang terkejut, gadis dengan gaun putih bersih bagaikan bidadari itu tiba-tiba terjungkal jatuh melihat reaksi Erwin.

Lowermost RevoltTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang