Disaat semua sudah menjadi kabur. Aku akan datang untuk memelukmu. Disaat dunia sudah mulai hancur. Aku dan dirimu akan bertemu.
"Kita bukan lagi saudara," ucap laki-laki dengan tubuh berlumuran darah.
Seketika, kesatria itu menampakkan wajah terkejutnya. Sambil tersenyum pahit, dia mengangkat pedangnya setinggi langit. Mata birunya mulai berkaca-kaca menitikkan air mata, dia mulai membuka mulutnya.
"Kita tidak perlu melakukan ini Adikku, ini belum terlambat, hidup..."
"Bunuhlah!" bentak laki-laki yang sekarat itu."Untuk terakhir kalinya, jadilah Kakakku yang dulu," tersenyum.
Dengan wajah membeku, kesatria itu hanya membalas dengan wajah dingin. Dia meneguhkan hatinya, tangannya yang gemetar mulai menampakkan keteguhan di dalamnya. Pelan-pelan pedang besar itu turun dengan cepat dan...
"Anthimaaaa! Dimana kau?"
Anak kecil seumuran 7 tahun itu terlihat mencari seseorang. Pertama, dia menuju ke bawah kasur yang berdebu dan tiada menemukan siapapun. Tak menyerah, dia mulai menuju ke lemari yang tak jauh dari dirinya berpijak. Dengan pelan, anak kecil itu membuka lemari dan.
"Bwaaa!"
Tidak ada, hanya baju yang tergantung dengan rapi. Penuh semangat, dia mulai membuka seisi rumah, dan tidak ada siapapun. Sampai wajahnya mulai cemas, dia mulai berjalan tak tau arah. Memanggil-manggil, "Anthima! Anthima!" Dia mulai berlari menuju ke pintu depan, membuka pintu dan mendapati hanya ada tanah hijau lapang sejauh mata memandang, tiada sesosok pun yang tampak. Sambil berlari penuh rasa cemas, dia menuju ke belakang rumah.
Terlihat pohon apel besar nan hijau yang tumbuh dengan buah apel merah merona nan segar dimana-mana. Di antara dahan itu duduk seorang anak kecil yang sedang asyik menikmati apel tersebut. Sesaat dia menoleh ke arah anak kecil yang sedang berdiri mematung itu. Dia melambaikan tangan dan melempar sebiji apel yang dia petik tadi.
"Kakak! Akhirnya kau menemukanku," sahut anak kecil yang terduduk di dahan pohon.
"Anthima," tersenyum menangis.
"Kenapa? Kakak aneh,kenapa menangis?"
"Tidak, tidak ada," leganya sambil mengusap air mata."Hoi, jangan habiskan buah apelnya."
Dengan wajah gembira, dia mulai memanjat pohon apel yang tinggi itu, menyusul adiknya yang sudah sampai di puncak. Penuh canda tawa, dia terduduk bersama adiknya sambil menikmati apel. Terkadang adiknya juga menjahilinya dengan sedikit mendorongnya ke bawah (semoga tidak jatuh). Mereka tak sadar, kesenangan itu tak berlangsung lama.
Keesokan harinya, dia melihat di balik tembok ruang tamu, tatapannya tepat mengarah ke pintu depan yang terbuka, terlihat dua orang dewasa yang sedang berbincang-bincang. Tak lama salah seorang itupun pergi, meninggalkan yang satunya dengan wajah tertunduk lemas. Saat pintu tertutup, perbincangan yang hangat tadi seketika berubah menjadi hening, dengan kerut sedih di wajahnya. Anak kecil itu keluar, mendekati orang dewasa yang terduduk lemas di lantai.
"Ayah, ada masalah apa?"
Ayahnya terkejut, dengan cepat dia mengusap air matanya yang hampir menetes. Menampakkan wajah senyum palsunya, dia berpura-pura untuk tidak membuat anak pertamanya khawatir. Namun, anak kecil itu tidak bodoh, dia tahu bahwa Ayahnya mendapatkan masalah, setiap hari Ayahnya pulang dengan wajah yang sedih dan dirinya tidak tahu harus berbuat apa.
"Ah, Erwin. sudah puas bermain dengan adikmu?" senyum Ayahnya.
"Ayah, kenapa Ayah menangis?"
"Tidak ada,oh! Ayah punya kejutan untukmu," merogoh saku bajunya."Tada!" Memberikan kotak kecil kepada Erwin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lowermost Revolt
FantasíaPeringatan! Novel ini mengandung adegan kekerasan dan darah. Erwin dan Anthima adalah saudara yang selalu bersama. Apapun itu mereka selalu bersama, setiap kali Anthima butuh bantuan, Erwin dengan sigap datang entah darimana, dan disaat Erwin dalam...