Semua isi lemarinya Naya keluarkan. Satu persatu ia melipatnya kembali kemudian memasukkannya kedalam koper yang ada dilantai. Dibantu oleh Stella dan ibu kos nya Margaret, mereka merapikan barang-barang milik Naya yang mungkin akan dia bawa bersamanya ke Indonesia. Setelah mendengar kabar tentang meninggalnya sang ayah, Naya langsung memutuskan untuk kembali ke tanah kelahiran sesegera mungkin.
Dengan berat hati Naya harus melepas dan meninggalkan impiannya demi keluarganya yang kini sedang terpuruk setelah ditinggal kepala keluarga. Sesungguhnya, Naya sedikit tidak ikhlas untuk melepas beasiswa yang ia dapatkan namun Naya tidak tega jika harus meninggalkan mama dan adiknya menjalani ini semua tanpa dirinya. Lagipula Naya yakin jika dia tetap kukuh untuk melanjutkan kuliahnya mungkin dia tidak akan bisa fokus dan berkonsentrasi sebab terus menerus memikirkan keadaan keluarganya.
Jadwal keberangkatan Naya telah ditetapkan. Stella dengan suka rela membantu Naya untuk mendapatkan tiket pesawat agar dia bisa secepatnya pulang kembali ke Indonesia. Naya diberitahu kalau besok pagi dia sudah bisa berangkat dan Naya sangat bersyukur akan hal itu. Sesudahnya, Stella dan Margaret pamit untuk pergi ke kamar masing-masing meninggalkan Naya yang memberi isyarat bahwa ia ingin sendirian. Tidak butuh waktu lama air mata mulai mengaliri pipinya.
Masih tidak dapat Naya percayai jika sekarang ayahnya sudah pergi meninggalkan keluarga tercintanya. Ingin sekali Naya memutar waktu agar dapat kesempatan melihat ayahnya untuk yang terakhir kalinya. Naya merasa bersalah sebab tidak ada disamping ayahnya selama dia terbaring dirumah sakit.
Mamanya bercerita kalau beberapa bulan setelah kepergian Naya ke luar negeri, ayahnya tiba-tiba jatuh sakit dan didiagnosis mengidap kanker otak. Awalnya mamanya juga tidak mengetahui hal itu namun setelah diperiksakan ke dokter baru diketahui kalau ada penyakit semengerikan itu yang selama ini menggerogoti tubuh sang suami.
Masih duduk dilantai bersama dengan kopernya yang belum ia tutup, Naya menghentikan tangisannya sesaat setelah mendengar suara ketokan dipintu. Dengan perlahan Naya berdiri kembali selanjutnya beranjak menuju pintu kemudian membukanya. Berdiri Stella disana. Memegang sepiring bubur dan segelas air putih.
"Makan dulu dan jangan sedih terus." Ucap Stella terdengar begitu lemah lembut.
Naya tersenyum, menyeka air matanya lalu menerima pemberian Stella dengan senang hati. Sekali lagi Stella mendapat predikat teman terbaik dari Naya. Sesaat kemudian Naya kembali melangkah masuk kedalam kamar setelah sepeninggal Stella. Ia menyantap bubur pemberian Stella dan sesekali meneguk air putih agar tidak tersedak. Dia bersyukur sebab memiliki teman sebaik Stella tapi sekaligus sedih karena harus pergi meninggalkan kawannya itu.
***
"Aku berangkat dulu. Sampai jumpa lagi, semoga kita bisa ketemu lagi dilain kesempatan." Ucap Naya berpamitan pada Stella.
"Iya, sampai jumpa. Nanti lain kali kalau ada waktu aku akan berkunjung ke Bali untuk bertemu kamu. Mungkin nanti kamu yang harus menjadi guide ku untuk menemaniku berkeliling dan berjalan-jalan disana." Balasnya dengan senyuman.
Naya terkekeh seraya mengangguk mengiyakan perkataan Stella dan dibalas sama dengan gadis itu. Keduanya berpelukkan sesaat untuk mengucapkan selamat tinggal. Stella melambai ke arah Naya yang mulai beranjak pergi. Pesawat lepas landas membawa Naya dan membuatnya meninggalkan hari-hari menyenangkan yang sempat ia rasakan. Pengalaman dan kenangan indahnya akan selalu ia ukir dalam hati.
Saat-saat melelahkan bagi Naya hampir berakhir. Setelah menempuh perjalanan panjang berjam-jam lamanya ditambah Naya harus transit ke beberapa negara, membuatnya kehilangan banyak tenaga. Tiba lah Naya di tanah air nya yaitu Indonesia dan kampung kelahirannya yaitu pulau Bali. Sebab sudah telalu lelah, Naya langsung masuk kedalam mobil taksi dan membiarkan sang sopir yang merapikan koper nya untuk diletakkan didalam bagasi. Sekarang ini Naya hanya ingin beristirahat sampai ia tiba dirumah tercinta.
Dari bandara Ngurah Rai, butuh dua jam perjalanan untuk Naya sampai didesa tempatnya tinggal. Tanpa sadar Naya tertidur dimobil dan baru bangun saat pak sopir mengejutkannya. Naya mengerjab beberapa kali untuk mengembalikan kesadarannya yang sempat hilang sesaat. Lalu ia turun dan disambut oleh mamanya yang sudah berdiri didepan angkul-angkul. Gapura yang juga memiliki fungsi sebagai pintu masuk.
"Gimana perjalanan kamu?" Tanya Ayudia ditengah pelukkannya.
"Lancar, ma." Jawab Naya masih setengah sadar.
Bapak sopir menyerahkan koper dan beberapa barang milik Naya kepada Adit, adik laki-laki nya kemudian setelah berpamitan bapak itu pun pergi. Mama dan Adit menuntun Naya menuju kamar tidurnya namun mata Naya menangkap tempat tidur yang diletakkan di bale delod. Bangunan yang terletak di selatan rumah dan biasanya digunakan untuk tempat penerimaan tamu, pelaksanaan kegiatan adat, bale kematian serta tempat meletakkan jenazah anggota keluarga yang meninggal.
Dengan hati-hati, Naya melangkah menaiki satu demi satu anak tangga dan menemukan tubuh ayahnya terbaring tak bernyawa diselimuti beberapa bongkah es batu.
"Naya pulang pa." Ucap Naya.
Mama dan Adit hanya memperhatikan nya dari jauh. Mereka tidak sanggup melihat Naya yang kini kembali meneteskan air matanya saat melihat sang ayah yang terbaring kaku. Naya memegang tangan ayahnya dan merasakan tangan itu begitu dingin.
"Maaf Naya datang terlambat. Maaf Naya nggak bisa menemani papa disaat-saat terakhir papa hidup didunia ini. Maafin Naya karena belum sempat membahagiakan papa. Maafin Naya, pa."
Dirasa tubuh Naya mulai lemas, Adit datang dan membantu kakaknya itu agar tetap kuat. Ayudia memeluk kedua anak-anak nya dan mereka tenggelam kembali dalam kepedihan. Rasanya masih tidak rela jika harus ditinggal mati oleh orang terkasih. Mereka selalu berharap dan berdoa jikanya ini hanyalah mimpi namun Tuhan seakan menyangkal semua fantasi yang mereka coba ciptakan untuk menipu diri sendiri.
***
Terik sinar matahari begitu menyengat. Naya melirik ke jam tangan nya yang menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Upacara pembakaran mayat atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ngaben berlangsung sudah sekitar satu jam. Naya dan keluarga hanya dapat duduk diam menatap api yang mulai melahap habis tubuh ayahnya dan kini menyisakan hanya tulang belulang.
Upacara ini terus berlanjut selama satu hari penuh walaupun diselingi beberapa kali istirahat dan berakhir setelah mehanyutkan tulang orang yang telah meninggal ke laut lepas. Ayahnya kini sudah pergi dan hal itu lah yang harus Naya dan keluarga coba untuk ikhlaskan. Memang tidak mudah tapi ia harus bisa melakukannya. Bukan demi dirinya sendiri namun demi ayahnya.
Setelah seharian melangsungkan upacara yang begitu melelahkan, Naya membaringkan tubuh diatas ranjang. Belum genap lima menit Naya terlelap, terdengar suara gaduh dari arah luar dan memaksanya untuk melangkah keluar. Tidak terduga, mama dan Adit sedang terduduk di tanah dengan beberapa orang berbadan kekar yang tampak seperti pegulat.
"Ada apa ini?" Tanya Naya seraya memeluk mamanya.
"Kamu bilang sama ibu kamu ini untuk segera melunasi hutangnya. Kalau tidak kalian akan aku tendang keluar dari rumah ini!" Kata seorang pria berbaju awut-awutan dengan wajah marah.
Setelahnya mereka pun beranjak pergi. Adit dan Naya membawa mamanya untuk duduk dikursi teras.
"Mereka siapa ma? Kenapa mereka mengancam akan mengusir kita?" Tanya Naya penuh rasa penasaran.
Ayudia tidak menjawab. Dia hanya menunduk seolah tidak berani menatap mata sang anak.
"Mereka renternir kak, mama meminjam uang ke mereka untuk membayar tagihan rumah sakit papa."
"Renternir?!"
To Be Continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
Naya Arjuna
Любовные романыNaya senang sekali karena dapat mewujudkan mimpinya untuk berkuliah diluar negeri. Namun belum genap setahun dia pergi dari tanah air tercinta untuk menuntut ilmu, Naya harus terpaksa melepaskan kesempatan emas itu sebab mendapat kabar bahwa ayahnya...