01. Status Baru

1.7K 157 7
                                    

Aku menatap akta cerai yang kini berada di tangan kananku, membaca dengan teliti setiap kata yang tertera di sana.

Janda?

Iya, aku adalah seorang janda.

Aku diceraikan oleh lelaki yang sangat aku cintai, tapi kebalikannya, dia tidak pernah mencintaiku. Ku usap air mata yang kembali membasahi pipi, walaupun rasanya sangat percuma karena air mata itu kembali jatuh dan jatuh lagi.

Kekehanku terdengar, menertawakan nasibku sekarang. Miris sekali nasibmu Dilara.

Dijodohkan, tidak dicintai dan kini diceraikan.

Sebenarnya aku tahu kalau hal seperti akan terjadi padaku, karena dulu dia pernah mengatakan kalau kami menikah hanya karena menghormati Ibunya, dan kini ibu yang ia hormati telah pergi untuk selamanya. Jadi, apa yang harus dipertahankan?

Kami menikah sudah delapan tahun dan dikarunia satu anak perempuan yang kini berusia tujuh tahun. Jangan tanya di mana anakku? Putri kecilku sudah pasti bahagia tinggal bersama Papanya, karena hak asuh anak jatuh ke tangan mantan suamiku itu.

Ku tarik napas sebanyak mungkin dan menghembuskannya secara perlahan, menetralkan rasa sakit yang masih bersarang di hatiku. Dan rasa sakit itu semakin menjadi, karena mengingat ia menceraikanku karena ingin kembali kepada mantan kekasihnya. Dan aku bisa apa selain menerima dengan lapang dada, karena marah pun tidak ada gunanya.

Dia sudah berbaik hati memendam rasa tidak sukanya padaku selama delapan tahun ini, jadi biarkan saja ia pergi dan bahagia dengan orang yang ia cintai.

Aku mulai beranjak dari dudukku di ruang keluarga, berjalan menuju kamar yang sudah dua bulan ini aku tempati. Iya, sekarang aku kembali ke rumah orang tuaku, hanya tinggal sendiri di sini karena Ayah dan Ibu sudah lama berpulang. Aku memang harus pergi dari rumah yang sudah aku tempati selama delapan tahun itu, karena selama ini aku hanya menumpang di rumah yang sudah ia bangun jauh sebelum kami menikah. Dan tidak mungkin bukan kalau aku masih tinggal di sana padahal kami sudah berpisah?

Baru saja aku merebahkan tubuh ketika dering ponselku berbunyi. Kuperhatikan nama yang tertera dilayar, dan dengan segera menggeser tombol hijau ketika mengetahui yang menghubungiku adalah Risty.

"Mbak, ke toko jam berapa?"

Suara riang seorang gadis terdengar, menyadarkanku kalau ada pekerjaan yang harus aku kerjakan. Aku sudah tidak dinafkahi lagi, jadi sekarang yang kulakukan untuk menyambung hidup adalah bekerja dan bekerja.

"Sore baru bisa ke toko, kamu handle dulu ya Ris." Pintaku, kepada perempuan mungil yang ikut membantuku selama ini. Dia tetangga sebelah rumahku yang baik dan periang, terlihat sangat tulus dan bisa dipercaya.

"Sipp, Mbak nggak sakitkan?" Tanyanya Khawatir, dan mampu membuatku tersenyum.

"Enggak, Mbak habis bersih bersih, jadi masih sibuk di rumah." Jelasku cepat, tidak ingin membuatnya semakin khawatir.

Aku mendengar hembusannnya yang terdengar lega, setelah itu suara merdu itu kembali terdengar meminta ijin untuk mengakhiri panggilan. Ku perhatikan layar ponsel yang kini menggelap, segelap hidupku yang sudah tidak memiliki warna. Dengan cepat aku gelengkan kepalaku, ketika tersadar aku tidak boleh bersedih lagi. Masih banyak orang - orang yang bisa membuatku kembali bersemangat seperti dulu. Iya dulu, dulu ketika aku belum mengenal dirinya.

Mengenai diriku, aku dilahirkan sebagai anak tunggal dari kedua orang tua yang tidak miskin tapi tidak juga sekaya mantan suamiku. Ayah adalah mantan dosen yang meninggal sepuluh tahun yang lalu, dan disusul Ibu yang seorang Asn, yang juga meninggal tujuh tahun yang lalu. Meninggalkan satu anak perempuan tanpa saudara dan tidak tahu keluarga besarnya berada di mana. Jangan tanya kenapa? Dari kecil aku tidak pernah dikenalkan kepada saudaraku yang lain serta tidak pernah di bawa mengunjungi keluarga besar dengan dalih kumpul keluarga. Entahlah? Aku juga tidak tahu apa yang terjadi dengan orang tuaku, yang aku tahu hanyalah hidupku yang selalu dilimpahi kasih sayang dan materi yang tidak kurang dalam arti berkecukupan.

Orang tuaku mewariskan rumah yang aku tempati sekarang, setelah sebelumnya sempat aku sewakan karena tidak ingin kosong. Ditambah lagi ada ruko lima pintu yang syukurlah sudah terisi, dengan satu pintu yang aku gunakan untuk usaha. Aku memilih membuka bisnis laundry karena melihat peluangnya yang lumayan besar. Usaha yang baru berjalan tiga minggu itu sudah mulai menampakan hasil walaupun belum signifikan. Tapi itu sudah lumayan untukku, karena tidak ada yang aku pikirkan lagi selain bisa makan dan hidup dengan layak.

Tentang anakku, walaupun sangat berat untukku merelakannya tapi aku yakin dia akan hidup dengan sangat baik di sana. Jangan mengatakan aku jahat karena terlihat seperti orang yang tidak peduli dengan anak sendiri. Kalau aku bilang, aku hampir saja gila ketika tahu hak asuh anak jatuh ke tangan mantan suamiku, apakah ada yang percaya?

Tapi sekarang walaupun masih terasa sakit, aku sudah bisa menerima, karena mantan suamiku masih berbaik hati membiarkan aku bertemu dengan Alova, bahkan membiarkannya tidur bersamaku di akhir pekan walaupun tidak terlalu sering.

Ku pejamkan mataku, memilih tertidur dengan pikiran yang sudah mulai membaik. Aku perlu banyak istirahat setelah empat bulan ini tidak pernah tidur dengan tenang dan nyaman.

***

"Mama makan apa?"

Aku mengangkat paha ayam goreng yang menjadi menu makan malamku. Memperlihatkan kepada anakku yang kini meneguk air liur karena tergiur. Kekehanku terdengar melihat tingkah menggemaskan putri kecilku itu.

"Kok Mama makan ayam goreng, kan Lova jadi pengeeeen!!" Serunya heboh, membuatku tergelak.

Aku dengan sengaja menggigit paha ayam hasil masakanku tadi sore, entahlah? Aku sebenarnya tidak suka dengan paha ayam, dan hanya akan memasaknya untuk anakku saja. Tapi hari ini, aku benar - benar tidak bisa menahan keinginanku untuk menyantap paha ayam yang membuatku meneguk air liur, persis seperti tingkah anakku barusan.

"Papa, besok anterin Lova ke rumah Mama Ya, Lova pengin makan ayam goreng buatan Mama."

Aku tetap mengunyah dengan telinga dan mata yang fokus menatap buah hatiku itu, aku tahu di dekatnya ada mantan suamiku walaupun sosoknya tidak terlihat dilayar ponselku.

"Besok kita kan mau jalan jalan."

"Ke mana?"

"Ke Mall, Bunda Kiana mau beliin mainan sama baju buat Lova."

"Yah, tapi Lova mau ke rumah Mama!"

"Kapan - kapan aja ya, Nak."

Aku menghentikan kunyahanku dan mengalihkan tatapan dari layar ponsel, ketika merasakan air mataku sudah ingin keluar. Dengan segera aku berlari ke wastafel, ketika air mata itu jatuh dengan sendirinya. Sial!! Aku menangis lagi.

"Mama Mama?!"

Suara Alova yang terdengar membuatku dengan cepat membasuh wajahku, agar air mata yang tadi berjatuhan tak terlihat olehnya. "Bentar ya nak, Mama cuci tangan dulu!" Seruku, dengan kebohongan yang sudah tak terhitung berapa kali aku ucapkan.

Aku hela napas yang terasa sesak di dada, dan mulai menampilkan senyum palsu yang terasa sakit untuk kulakukan. Tapi hanya ini yang harus aku tampilkan di hadapannya. Aku lemah, tapi harus selalu kuat untuknya.

Aku kembali duduk di kursi makan, dengan senyum manis yang nyatanya terasa pahit untuk kulakukan.

"Mama, Lova minta maaf ya, Lova belum bisa main ke rumah Mama, soalnya mau shopping sama Bunda Kiana."

Aku menganggukkan kepala, dan menahan sekuat tenaga air mata yang kembali ingin keluar. "Iya, Lova jangan rewel sama Bunda.....Kiana, ya." Jawabku dengan suara terkecat. Sakit! Ini benar benar sakit dan tidak bisa aku jelaskan bagaimana rasanya. Aku sakit karena mengetahui wanita itu sudah bisa mengambil hati anakku sebegitu cepatnya.

Bunda? Manis sekali panggilan itu, tapi sialnya aku tidak menyukainya.

Bersambung.

Hai....ketemu lagi dengan cerita baruku 😊

Sekali lagi ya, kalian baca cerita yang mengiris hati, jiwa dan raga, ditambah nggak jauh jauh dari hubungan pahit sebuah pernikahan.

Oh iya, cerita ini hanya tersedia lima part di wattpad dan sudah tamat di karyakarsa, di sana kalian bisa beli dengan harga satuan ataupun paket.

Jadi, selamat membaca😆

Lara Untuk Dilara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang