09 : It's like we can't stop, we're enemies

154K 5.3K 120
                                    

Vote and comment please.
***
[Brian POV]

Tidak ada yang benar. Kupikir aku memang terlahir untuk menjadi seorang bajingan yang tidak akan pernah melakukan hal yang benar meski hanya satu kali. Kehidupanku sudah terkutuk. Aku tidak bahagia, aku juga tidak tenang.

Aku ingat, sebelumnya jika aku menyakiti seseorang, aku tidak pernah segusar ini. Aku bahkan tidak peduli apakah dia nyaman atau ketakutan. Namun, saat ini aku begitu gusar. Aku nyaris ketakutan menyadari seorang baru saja kusakiti dengan hasratku yang tidak tahu malu.

Aku baru saja melukai hatinya.

Kianna Heavens, dialah seseorang itu. Dia adalah orang pertama setelah Ibu yang bisa membuatku menjadi gila dan ketakutan. Aku bersumpah demi Tuhan—atau siapa pun yang kalian sembah—bahwa saat kami di dermaga aku sudah nyaris tenggelam dalam gairahku pada Kianna.

Namun, tiba-tiba Boy—teman dekatku yang lain—datang ke green house dan menyerangku. Mengatakan jika dia masih mencintaiku dan tidak terima tentang pemberitaan hubunganku bersama Kianna.

Aku dijebak. Dia memaksaku, saat aku ingin menyingkirkannya Kiana datang dan memergoki kami. Mata emerald-nya yang menatapku penuh kekecewaan dan air mukanya yang tampak begitu terpukul membuatku sakit.

Aku sadar, lalu mengabaikan Boy dan mengejarnya. Air mata dan ketakutan yang diberikannya kepadaku membuatku kesal pada diriku. Aku membenci diriku.

Mengapa hal ini bisa terjadi?

Matahari terlihat tinggi di ujung timur, di siang setelah kepergian wanita yang membuat luka di dadaku kembali tercabik itu. Suara di kepalaku menjadi arogan dan tak terkendali.

Aku bisa ingat jelas jika pria berengsek yang menjemput wanitaku tadi sudah mengaku kalau dia adalah tunangannya—Tunangannya? Sialan! Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi bahkan andai aku terlahir kembali. Kianna hanya milikku dan tidak ada satu orang pun yang bisa memilikinya selain aku, apa pun yang terjadi.

Namun, apa yang bisa kuharapkan? Wanita itu sudah tahu identitasku. Dia bahkan sudah melihat secara langsung apa yang selama ini kusembunyikan. Semua rencana yang dikatakan Andrew hampir kulakukan, tetapi dalam sekejap hancur oleh kebodohanku. Aku menyesal.

Akal warasku kembali membentak, menanyakan hal sama yang selalu kutanyakan pada diriku. Siapa dia? Mengapa dia mampu memengaruhiku seperti itu?

Tiba-tiba suara ponsel menyadarkanku, membuatku kembali ke dalam dunia nyata.

"Ada apa?"

Aku terbiasa berkata tanpa minat. Suara Andrew di sana terdengar dengan tawa yang lepasnya. Dia sedang ingin mencemoohku seperti biasa. Aku mendengus—sial!

"Hei bodoh, siapa suruh kau bercinta dengan Boy saat wanita itu serumah denganmu hah? Kau memang mau dia melihat percintaanmu bersama Boy secara langsung ya? Nafsu si Boy itu seperti Anjing, kau tahu?" Dia memakiku tanpa malu.

Tanpa sadar aku berbalik mendekati ranjang yang digunakan wanitaku semalam. Aku berbaring di tempatnya dan menghirup sisa-sisa aromanya yang membuatku ketagihan. Parfum wanita biasa tidak pernah selembut ini dalam penciumanku.

"Kau sudah tahu?" desahku pasrah.

Dia di balik sana kembali tertawa, membuatku semakin merengut. Kali ini untuk apa si Berengsek ini tertawa?

YS [2] // ANIMALSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang