Orang baru

85 13 0
                                    

🚫Sider🚫
.
.
.
.
.

Gibran tak henti-hentinya merutuki ayahnya yang memaksa dia untuk menjemput adik sepupunya. Kini pria tinggi kekar itu dengan kameja hitam dan celana jeans membalut tubuhnya, duduk di kursi tunggu yang ada di bandara.

Ia memainkan ponselnya, membalas chat Azura yang begitu random namun selalu mampu menarik sudut bibirnya.

Zura🖤

Kak Gib lagi dimana?

Knp?

Nggak knp🙃

Knp Azura

Zura bosen dirumah😖

Bntr ya, gue lg ada
urusan

oke deh😿

hha gausah nangis
kangen lo?

Enggak kok

boong lo

ih, nggak ya😤


Gibran tertawa kecil sebelum akhirnya, pandangannya gelap kala merasa jari-jari  lentik yang entah milik siapa menutup kedua matanya. Ia melepas paksa kedua tangan itu.

Axeline Triana, dengan wajah khas Asia itu tersenyum manis. Ia merentangkan kedua tangannya, namun Gibran acuh dan memilih bangkit berjalan meninggalkan dirinya.

"Cepetan!" Gibran melirik datar perempuan yang hanya diam ditempat itu.

"Ih, ga so sweet banget sih kakak!" Xeline menghentakkan kedua kakinya pada lantai keramik putih itu.

Padahal tadinya dia berharap Gibran memeluknya erat, lalu menggandengnya menuju parkiran dan kopernya ditarik oleh pria itu. Namun, kembali pada ekspetasi tak seindah realita.

Kemudian gadis itu menarik koper besar itu mengikuti Gibran yang berjalan didepan.

Setelah sampai diparkiran, Gibran langsung masuk kedalam mobil tanpa memperduli kan Xeline yang kini menganga tak percaya pada Gibran yang sama sekali tidak berniat membantunya.

Setelah berhasil memasukkan koper itu kedalam trunk mobil Gibran, ia kemudian masuk kedalam mobil dan duduk disamping cowo itu. Mobil melaju meninggalkan bandara besar itu, membelah jalanan.

"Kak?" Panggil Xeline.

Gibran hanya menoleh datar sekilas, lalu kembali menatap jalan didepan. Axeline menghela nafasnya pelan, kembali menatap Gibran. Ia menatap cincin tunangan dijari Gibran.

"Kak?" Ia menunjuk jari Gibran.

"Apa sih bangsat!?" Gibran melirik tajam gadis itu.

Xeline kaget, menatap tak percaya pada sepupunya itu. "Kakak kok gitu sih ngomong sama aku?"

Gibran tak menjawab, kembali fokus menyetir. Ponselnya berdering, ia morogoh sakunya yang bergetar. Ia berdecak, tak urung mengangkat panggilan itu.

"Kenapa lagi sih, pih?" tanya Gibran tak santai.

"Udah dijemput belum?" tanya Gyan balik diseberang sana.

"Hm,"

"Oh yaudah hati-hati, gausah ngebut."

Gibran berdehem singkat lalu segera memutuskan panggilan mereka.

GIBRANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang