Setelah perang dingin beberapa tahun, Divya bisa menerima Paduka kembali. Dia belajar memaafkan kekeliruan Paduka sekaligus meleburkan kecewanya. Rona lebih berhak mengisi tempat itu ketimbang emosi-emosi negatif mereka.
Divya kenal Paduka lebih dari sepuluh tahun, tepatnya tujuh belas tahun. Sweet seventeen seperti tembang hits milik Pink Sweat yang sayangnya gak semanis lagu tersebut. Tujuh belas tahun diisi dengan banyak makian, kebencian, juga kesalahan. Meski tak bisa dipungkiri jauh di dalamnya terselimuti kasih sayang.
Satu sama lain masih ingat memori yang sudah dilalui, buruk dan baik. Ada kejadian yang gak akan bisa dipahami orang lain selain mereka berdua. Untuk itu posisi Paduka bagi Divya maupun Divya di mata Paduka tak tergantikan tanpa suara.
Baik Divya dan Paduka sama-sama gak memiliki pasangan serius sampai saat ini juga karena keduanya tau mereka masih saling sayang. Ironi ya?
“Ma, besok papa ulang tahun.”
“Iya.”
“Aku ngasih tau, bukan nanya, Ma.”
“Mama respon, bukan jawab pertanyaan.”
Like daughter like mother. Rona urusan wajah boleh jadi mirip Divya, tapi soal adu pendapat dia lebih menurun dari kengototan Paduka. Makanya setiap mereka ngobrol, Divya lebih sering menghela napas ketimbang lanjut protes.
“Mama mau kasih kado apa tahun ini?”
“Gak ada, belum kepikiran.”
“Loh?” Dahi Rona berkerut. Gadis belia itu menatap ibunya keheranan sambil berkacak pinggang. “Ini ulang tahun pertama papa setelah kita tinggal bareng, Ma. Masa enggak ada kejutan atau pesta apa-apa?”
“Rona, kita gak betulan tinggal sama papa kamu. Secara fisik iya, itu juga karena rumah kita lagi direnovasi. Lagian, papa kamu pasti punya rencana sama temen-temennya buat rayain ultah dia.”
“Tetep aja kita kan keluarga, Ma. Family comes first. Mama sendiri yang bilang.”
Tuh kan. Gak bakal menang adu mulut sama Rona. Apalagi saat anak itu ngotot begini. Tapi menuruti permintaan Rona juga gak mungkin. Merayakan ultah Paduka seperti kebanyakan pasangan dan keluarga lain ... enggak deh. Gak mungkin. Jangankan ulang tahun Paduka, ulang tahunnya sendiri saja sudah lama gak dia rayakan.
“Kalo kamu mau rayain gak apa-apa,” tutur Divya akhirnya. Rona hampir berseru kesenangan jika saja mamanya itu gak melanjutkan, “Mama bantuin, tapi Mama gak ikutan.”
“Yaaah, kenapa gitu, Maa?”
“Mama gak kepengen, titik.”
Kata titik adalah final. Sejak Rona balita, Divya sudah menanamkan peraturan tak tertulis tentang akhir yang diwakili kata tersebut. Tidak akan ada kelanjutan atau debat setelah titik keluar meski masih merasa belum selesai.
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Ready With Us : Famancy
Ficção GeralFamancy /fa. man. cy/ n. The art of loving your family in returns. | WARNING | Cerita ini mengandung konten tak masuk akal yang bisa membuat perut kalian sakit dikarenakan kebanyakan tertawa atau bisa juga sakit mata karena kebanyakan menangis. © 20...