Liburan itu pasti, apalagi buat kalangan pekerja kantoran dan anak sekolahan yang mungkin baru menapaki jenjang taman kanak-kanak. Namun, bagi para ibu rumah tangga yang kesehariannya mengurus dan menjaga seisi keluarga dalam rumah, sepertinya kata liburan setara dengan bonus tahunan lima kali lipat alias jarang banget.
Perjalanan dari Jakarta menuju Yogya yang dilakukan oleh kesebelasan ibu-ibu gusi gengges berjalan lancar. Berangkat penuh suka cita, sampai tujuan juga penuh suka cita. Walau rencana agak mundur sebab badan yang biasa dipakai beres-beres dan bekerja memaksa istirahat begitu bertemu pelayanan tubuh yang nikmat.
Apa tuh? Spa dan pijat tentu saja.
“Lo semua kompak bilang kita ke Bali 'kan?” Elysia selaku mandor kelicikan bersuara pelan, menikmati pijatan di dahinya yang sering berkerut. “Gue bilang sama Pandu ke Bali soalnya, lagian di grup juga udah dibilang berkali-kali.”
“Gue gak ngasih tau ke mananya sama Ibel,” sahut Nana. Perempuan tiga puluhan itu berkata lagi, “Laki gue gak ambil pusing sih, asal gak nyari masalah pasti dikasih.”
“Kalo nanya kaya gitu kudunya spesifik, Ya. Nih kandidatnya harus lo tunjuk langsung,” tutur Divya kemudian menunjuk Rahma dan Nayla bergantian. Nayla gak liat, soalnya lagi dipijat wajahnya jadi dia otomatis merem. Sementara Rahma, dia kayaknya pura-pura gak lihat sih.
“Gue bilang kalo mau ke Yogya.”
Semua mata menatap pada si penjawab tanya yang gak diduga. Bukan Nayla, bukan Rahma melainkan Ashita si ibu dua anak. Perempuan berambur panjang itu santa saja usai ditonton sepuluh temannya yang lain.
Asmara yang gak tega melihat ancaman perang dari mata Elysia dan Divya langsung berseru, “Aku juga!”
“Kak Mara???”
“Aku bilangnya bukan ke Jae sih tapi ke Kina. Soalnya aku gak tega bohongin dia.”
Nana mendengus lega. “Bagus deh, anak lo kan mulutnya kaya sleting rok baru, Kak. Rapet pet pet pet.”
“Ya si Ashita nih! Lo ngapain bilang juj—tunggu, lo bilang ke siapa?”
Bener juga. Nayla yang sudah selesai dipijat wajahnya sampai duduk menghadap kawan baiknya itu penuh penasaran. Kemungkinan ia bilang ke Atreo sangat kecil dan kalau bilang ke Adimas jatuhnya beresiko. Makin tua lelaki itu makin bacot soalnya.
“Adimas,” jawaban Ashita bikin seluruh emak-emak menghela napas lelah. Namun rupanya ia belum selesai, “Sama Atreo.”
“WHAT?!”
“Bukannya gue mau sukarela ngasih tau dia kok, enggak gitu.” Suara Ashita memelan, menyembunyikan sesuatu dengan menahannya. “Gue gak punya pilihan selain kasih tau Atreo ke mana kita pergi.”
“Curut satu itu ngancem lo pake apalagi kali ini?” Elysia yang biasanya gak ambil pusing dibanding Divya kini malah emosi. Tangannya menuding ponsel pintar milik Ashita. “Kasih gue nomornya atau sekalian aja siniin hape lo biar gue yang ngomong sama dia.”
“Divya, gue kayaknya salah gak sih ada di sini,” Rahma berbisik demikian, seram melihat Elysia. “Gue ke sana aja deh, sama yang lain ya ....”
Divya buru-buru menyikutnya pelan ikut berbisik, “Lo harus di sini! Siapa ntar yang bantuin gue kalo-kalo si Elis sampe kelepasan?!”
Melihat Elysia lagi mode garang dan emosi tingkat dewa begitu, beberapa ibu menjauh sedikit dari mereka berdua. Kecuali Divya dan Rahma karena kalo cuma berdua aja bisa-bisa Ashita pecah sendiri. Harus ada yang waras dan cukup lembut menengahi.
“Gak, Kak. Gak usah.”
Loh kok malah gak usah gitu kan pikir yang lain. Gak biasanya Ashita kalem gini bahas Atreo dan entah kenapa rasanya perempuan itu sedikit membela laki-laki yang masih bersatus suaminya itu. Setelah semua yang terjadi dan menyakiti dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Get Ready With Us : Famancy
Fiksi UmumFamancy /fa. man. cy/ n. The art of loving your family in returns. | WARNING | Cerita ini mengandung konten tak masuk akal yang bisa membuat perut kalian sakit dikarenakan kebanyakan tertawa atau bisa juga sakit mata karena kebanyakan menangis. © 20...